Friday, May 12, 2017

makalah positivisme august comte dan pandangan dalam islam



MAKAKALAH FILSAFAT UMUM
POSITIVISME AUGUST COMTE DAN PANDANGAN DALAM ISLAM
NAMA DOSEN PEMBIMBING: SOHIBUL IHSAN,S.H.,M.H.


KELAS F
NAMA KELOMPOK 6:
SANIMAN                                         1651010466
SELA INDAH PAMELA                1651010464
SELVI YANA                                   1651010429
SHOPIA ANANDA                          1651010453
SITI UMI NUR AISYAH                1651010469
TESSA MILTASARI                       1651010443
YAYAN JANAFI                             1651010460

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

            Puji syukur hanyalah teruntuk kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayangnya kepada setiap makhluknya, Dialah yang mengawasi setiap gerak gerik kita, kapanpun dan dimanapun kita berada dan tidak seorang makhluk apapun yang dapat melebihi kekuasaannya.
            Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada keharibaan kita, junjungan kita yang telah membawah nilai-nilai kebenaran pada saat dunia berada di era bobroknya nilai-nilai setiap tingkah laku manusia, atau yang biasa disebut pada zaman jahiliah.
            Di era zaman yang semangkin maju dan penuh persaingan ini, sudah semestinya kita memahami dan mempelajari apa itu filsafat, karena itu sudah menjadi kebutuhan bagi kita semua, karena kalau kita tidak bisa mengikuti perkembangan zaman ini, maka kita akan mengalami ketertinggalan pengetahuan, untuk sangat dirasa perlu untuk kita memahami apa yang sebenarnya dikaji dam dikulas dalam filsafat itu.
            Di dalam makalah ini, penulis akan mencoba mengulas salah satu yang dibahas dalam filsafat, yaitu Positivisme Aguste Comte. Semga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahauan bagi para pembaca terutama bagi penulis sendiri, tetapi tentunya makalh ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pemahaman penulis, unyuk itu saran dan kritik dari para pembaca sanagat membantu dalam penyempurnaan buku ini.
                     Demikian, Terima kasih.


                                                                                                  Penulis, 12 MEI 2017

                 KELOMPOK 6





DAFTAR ISI

JUDUL.....................................................................................................................I
KATA PENGANTAR.............................................................................................II
DAFTAR ISI..........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN
            LATAR BELAKANG MASALAH.............................................................1
            RUMUSAN MASALAH.............................................................................1
            TUJUAN MASALAH..................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.       Pengertian positivisme...........................................................................3
B.       Biografi singkat auguste comte dan teorinya.........................................4
C.       Pengaruh positivisme terhadap perkembangan intelektual....................5
D.       Contoh positivisme dalam kehidupan sehari-hari.................................10
E.        Kritik mengenai positivisme.................................................................11
F.        Ciri-ciri positivisme...............................................................................12
G.       Pengaruh pendekatan ilmiah positivistik dalam Dalam studi islam.......13
H.       Kelebihan dan kekurangan pendekatan ilmiah Positivistik dalam
studi islam..............................................................................................16

BAB III PENUTUP
            Kesimpulan...................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................21






BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH
            Menghadapi filsafat positivisme, di satu pihak orang mengatakan bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sebuah metode atau pendirian saja, sedang di lain pihak orang mengatakan bahwa filsafat positivisme itu  merupakan “sistem afirmasi”, sebuah konsep tentang dunia dan manusia, dan juga terdapat seorang tokoh yang mengatakan bahwa sesungguhnya sejarah ilmu pengetahuan di abad ke-19 tidak dapat ditulis tanpa positivisme. Sebutan “filsafat positivisme” bagi suatu aliran filsafat muncul kembali pada abad ke 20, setelah dahulu ada pada abad ke 18.
Salah satu filsuf yang  pertama kali melahirkan positifisme yaitu Aguste Comte, untuk itulah  pada era dewasa menuntut  kita untuk memahami apa yang sebenarnya dikaji dalam filsafat itu sendiri, hal ini tidak hanya harus dipahami oleh para ilmuan atau profesor saja, tapi mahsiswa dituntut juga untuk dapat memahami yang dikaji dalam filsafat. Karena mahasiswa itu nantinya yang akan menggantikan para filosofis saat ini, dan setiap preode filsafat itu harus dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang dimaksud dengan positivisme?
2.    Bagaimana biografi singkat dan teori dari Aguste Comte mengenai positivisme?
3.    Bagaimana pengaruh positivisme terhadap perkembangan intelektual pada masa itu?
4.    Sebutkan contoh positivisme dalam kehidupan sehari-hari?
5.    Bagaimana kritik mengenai pisitivisme?
6.    Sebutkan ciri-ciri dari positivisme?
7.    Apa saja pengaruh pendekatan positistivistik ilmiah dalam studi islam?
8.    Sebutkan  kelebihan dan kekurangan pendekatan ilmiah positivistik dalam studi islam?

C.  TUJUAN MASALAH
1.    Untuk dapat mengatahui pengertian dari positivisme.
2.    Untuk dapat mengetahui bagaimana biografi singkat dan teori dari Aguste Comte.
3.    Untuk dapat mengetahui pengaruh positivisme terhadap perkembangan intelektual pada masa itu.
4.    Untuk dapat mengetahui contoh dari positivisme dalam kehidupan sehari-hari.
5.    Untuk dapat mengetahui kritik mengenai positivisme.
6.    Untuk dapat mengetahui ciri-ciri dari positivisme.
7.    Untuk dapat mengetahui pengaruh pendekatan positistivistik ilmiah dalam studi islam.
8.    Untuk dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan pendekatan ilmiah positivistik dalam studi islam.














BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian) atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.[1]
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan.[2] Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.


B.  BIOGRAFI SINGKAT AUGUSTE COMTE DAN TEORINYA

a.    Biografi singkat Auguste Comte
            Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Perancis, tahun 1798. Keluarganya beragama khatolik yang berdarah bangsawan. Meskipun demikian, Auguste Comte tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Dia mendapat pedidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup di sana. Di kalangan teman-temannya, Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Nepoleon dipecat. Dalam tinjauan singkat boigrafis mengenai Comte, coser menekankan status Comte yang bersifat  marginal di kalangan intelektual Perancis. Karya Comte di bawah asuhan Saint Simon kelihatan dan ketekunan untuk membuat dirinya sebagai seorang tokoh yang terpandang di kalangan intelektual Perancis.
       Kondisi ekonomi Comte juga pas-pasan saja, dan hamper terus-menerus hidup miskin. Dia tidak pernah mampu menjamin posisi profesional yang dibayar dengan semestinya dalam sistem pendidikan tinggi Perancis. Banyak karirnya berupa memberi les privat, menyajikan ide-ide teoretisnya dalam suatu kursus privat yang dibayar oleh peserta-peserta, dan sekali menjadi penguji akademi kecil. Di akhir hayatnya, dia hidup dari pemberian orang-orang yang mengaguminya dan pengikut-pengikut agama Humanitasnya. Sementara Comte sedang mengembangkan filsafat positifnya yang komprehensif, dia menikah dengan seorang bekas pelacur bernama Caroline Massin, seoranbg wanita yang lama menderita, serta menanggung beban emosional dan ekonomi dengan Comte.
       Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy, Comte bertemu dengan Clothide de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari Comte. Clothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu tergoncang; dia bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari”-nya itu. (Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang, 1986:77). Sifat tulis Comte  umumnya berubah secara mencolok setelah menjalin hubungan dengan Clothide de Vaux. Dia memulai karya bagian kedua, yakni System of Positive Politics, yang merupakan suatu pertanyaan menyeluruh mengenai strategi pelaksananya praktis pemikirannya mengenai filsafat positif yang sudah dikemukakannya terlebih dahulu dalam bukunya Course of Positive Philosophy.
       Karena dimaksudkan untuk mengenang “bidadari”-nya itu, karya Comte dalam politik positif itu didasarkan pada gagasan bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan inteligensi manusia yang mantap. Comte hidup di akhir-akhir Revolusi Perancis, termasuk serangkaian pergolakan yang tampaknya berkesinambungan, seperti pada saat rezeim Napoleon Bonarparte, penggantian monarki, rovolusi, dan periode republik.[3]

               Untuk memahami fisafat positivisme Auguste Comte dalam pandangan umum dan khususnya dalam pengertian pengembangan, Perlu sekiranya memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan “positif”menurutAuguste Comte:
1)        Sebagai lawan atau kebalikan atas sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian “positif”  pertama diartikan sebagai sesuatu yang nyata.
2)        Sebagai lawan atau kebalikan atas sesuatu yang tidak bermafaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensidatan sesuatu yang bermanfaat.
3)        Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, makapengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti.[4]
b.    Teori Auguste Comte
             Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme.  Aliran positivisme merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte  yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).[5]
             Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
             Menurut Comte dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
             Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
             Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
             Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
             Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif. Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
             Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
                        Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
                        Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
                        Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).
                        Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte  berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.


C.    PENGARUH POSITIVISME TERHADAP PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.
 Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.[6]

D.    CONTOH POSITIVISME DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
            Sebagai mahasiswa kita pasti banyak disibukkan oleh berbagai macam masalah yang ada mulai dari masalah asmara sampai masalah perkuliahan yangs semakin menumpuk dari hari kehari atau untuk para mahasiswa yang aktif dibidang organisasi pasti harus pandai dalam masalah managemen waktu yang tidak jarang selalu bertabrakan. Contonya adalah ketika kita harus menghadapi ujian akhir semester dan disaat itu juga kita sedang sibuk dengan organisasi . Mungkin pada saat ini yang harus kita lakukan ialah memperbaiki mental kita agar kita tidak terlalu terbebani dengan segala masalah yang terasa semakin menumpuk. Maka kita harus bisa membedakan mana yang lebih penting yaitu organisasi atau akademik, seperti kita harus memilih untuk mengorbankan organisasi kita untuk mengejar akademik mungkin secara mental pasti akan membuat fikiran kita terbebani karena kita merasa bahwa kita telah melepaskan hal yang kita cintai namun kita juga harus berfikiran bahwa walaupun kita meninggalkan hobby yang kita cintai tapi nantinya setelah kita menyelesaikan Ujian Akhir Semester kita kan bisa kembali pada aktifitas kita di organisasi sebab pasti akan sulit jika kita harus menyelesaikan masalah keduanya sekaligus. Untuk itulah kita harus tetap berfikir positif dan percaya diri dengan segala keputusan yang kita ambil agar tidak ada penyesalah diakhir nantinya. Dan, terkait dengan positivisme mengenai menolak segala sesuatu yang abstrak, hmmm... mungkin masalah-masalah yang muncul dalam hidup saya, harus bisa saya saring mana yang sebenarnya nyata adanya, dan mana yang hanya abstrak alias masalah tidak jelas juntrunganya. Seperti masalah dengan orang yang tidak ada di depan mata kepala saya sendiri. Saya mungkin tidak akan bisa menyelesaikan masalah tersebut, karena memang tidak bisa langsung saya amati. Bukankah positivisme berarti memuaskan diri dengan melihat relasi-relasi dari fenomena-fenomena yang dapat diamati? Objek yang jadi masalah saja tidak bisa saya amati, bagaimana mungkin saya akan menjawab permasalahan saya. Jadi, permasalahan tersebut hanya suatu yang abstrak. Ya, ya, saya akan memilah-milah lagi masalah yang benar-benar nyata, agar pikiran saya bisa ringan sedikit.

E.     KRITIK MENGENAI POSITIVISME
Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan).
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.[7]


F.   CIRI-CIRI POSITIVISME
A.  Objektif atau bebas nilai
Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
B.    Fenomenalisme
Tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika).
C.  Nominalisme
Bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata. Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyatan itu mengatasi semua bentuk partikular logam: besi, kuningan, timah, dan lain-lain.
D.  Reduksionisme
Realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
E.  Naturalisme
Tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
F.  Mekanisme
                        Tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai a giant clock work.[8]

G.      PENGARUH PENDEKATAN ILMIAH POSITIVISTIK DALAM STUDI ISLAM
Pendekatan Ilmiah Positivistik sebenarnya tidak bisa digunakan untuk mengkaji Islam, karena sifatnya yang menolak hal-hal metafisik, sementara agama termasuk Islam sangat kental dengan hal-hal metafisik. Empirisme yang menjadi hal mutlak dalam Positivisme juga tentu akan bertabrakan dengan agama yang tidak selalu memiliki aspek empirik. Namun, pendekatan ini bisa dijadikan sebagai metodologi Studi Islam bisa digabungkan dengan pemikiran theologis, yang kemudian menghasilkan karya-karya yang tetap memiliki seluruh aspek agama namun memiliki tingkat keilmiahan (memiliki sifat dapat diterima akal oleh semua kalangan) yang tinggi pula.
Burrel dan morgan (1979) menyatakan bahwa cara pandang fungsionalist Paradigm banyak dipengaruhi oleh physical realism yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang obyektif, berdiri secara independen di luar diri manusia[9]. Dengan kata lain Paradigma positivisme adalah dualis (objectivis) yaitu ada realitas objektif sebagai suatu realitas yang eksternal diluar penelitian. Peneliti harus sejauh mungkin membuat jarak dengan objek penelitiannya.
Anggapan ini berarti manusia dianggap pasif, artinya Positivism Paradigm meniadakan manusia aktif yang sebenarnya dapat mengkontruksi kehidupan. Selain itu positive menggunakan pendekatan deduktive dalam membuat kesimpulan. Pendekatan deduktif merupakan proses berpikir dengan metode rasional untuk mendapat kebenaran guna menarik kesimpulan yang bersifat individu dari yang bersifat umum, ini terlihat jelas pada proses pembentukan hipotesis, dimana hipotesis diturunkan dari teori-teori atau hasil hasil penelitian terdahulu.
Lebih jauh dikatakan bahwa tujuan penelitian yang berlandaskan positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Pandangan ini menyatakan bahwa hypotheticodeductive account dari eksplanasi ilmiah, dan metode kuantitatif pengumpulan data dan analisis untuk mengeneralisasi teori diakui sebagai cara yang baku. Ini berarti bahwa paradigma positivisme mengarahkan individu atau organisasi tidak secara holistic, karena mengisolasi individu dan organisasi ke dalam variable atau hipotesis dan tidak memandangnya sebagai kesatuan yang utuh[10].  




 
Diantara Ilmuan yang menggunakan pendekatan ini adalah Prof. Dr. H. Aloei Saboe. Dia mencoba mengkaji Islam dari pintu Positivisme dengan memadukan pendekatan positivistik ilmu kedokteran dengan teologi dan pandangan Madzhab Fiqih.
Misalnya dalam segi praktik Sholat. Tatacara mulai dari sikap awal hingga akhir menurut masing-masing Madzhab ada perbedaan. Kita ambil posisi setelah takbiratul ihrom, posisi berdiri. Menurut madzhab Syafi'iy, sikap tubuh tegak, tangan dilipat di antara dada dan perut. Menurut madzhab Hanafiy, sikap tubuh tegak dan tangan dilipat di depan perut agak di bawah pusar. Munurut madzhab Maliky, sikap tubuh tegak dan tangan lurus sejajar dengan sikap tubuh, tidak dilipat. Bila diteliti, sikap tubuh menurut madzhab Syafi'iy dan Hanafy ternyata lebih sesuai dengan paradigma positivistik kedokteran. Dengan penjabaran yakni Dengan posisi ini dapat diperpanjang konsentrasi pengendoran kaki dan punggung. Membaca ayat-ayat Al Qur’an atau doa dapat merangsang penyebaran 99 Nama Tuhan (Asmaul Husna) ke seluruh tubuh, pikiran dan jiwa. Suara vokalnya akan merangsang jantung, kelenjer gondok (tyroid), kelenjer pineal, kelenjer bawah otak, kelenjer adrenal dan paru-paru serta akan membersihkan dan mengeringkan semua organ tersebut. Juga dapat menciptakan sirkulasi darah, terutama aliran darah kembali ke jantung, serta produksi getah bening dan jaringan yang terkumpul dalam kantong-kantong kedua persendian itu menjadi lebih baik, gerakannya menjadi lancar dan dapat menghindarkan diri dari penyakit di persendian, misalnya reumatik[11].
Bila ditarik kesimpulan bahwa tatacara Sholat yang dalam hal di atas adalah sikap berdiri setelah takbiratul ihram yang paling benar adalah menurut Madzhab Syafi'iy dan Hanafiy karena yang paling sesuai dengan hasil kajian Ilmiah dari segi Ilmu Kesehatan, maka paradigma seperti inilah yang dimaksud dengan positivisme. Namun akan timbul persoalan, bahwasannya tatacara madzhab Maliky juga punya dalil tersendiri, yaitu 'Amal Ahl al-Madinah. Dan metode istinbat Imam Malik ini diakui kebenarannya secara Fiqih dan sah dalam keberadaannya sebagai metodologi Fiqih. Dan kebenaran Fiqih itu pada dasarnya bukan atas temuan ilmiah dari sains atau hal lain semacamnya, tapi berdasarkan kajian atas sumber-sumber Islam yang dianggap valid (validitas ini pun mengacu pada serangkaian verifikasi Fiqih). Maka di sinilah letak problematika penggunaan metodologi Ilmiah Positivistik dalam Studi Islam.

H.      KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PENDEKATAN ILMIAH POSITIVISTIK DALAM STUDI ISLAM
             1.     Kelebihan
Upaya memisahkan kebenaran agama dari wilayah ilmiah adalah pendapat yang salah dan tidak dapat dipertahankan.Pengetahuan fisika berakar dalam metafisika, namun metafisika tidak dapt dipisahkan dari fisika. Metafisika diantaranya menyatakan bahwa : (1). Dunia manusia dibangun oleh hukum-hukum yang memungkinkan perilaku obyekobyek natural berjalan dengan keteraturan dan regularitas. (2). Hukum-hukum yang membangun keteraturan alam adalah rasional dan oleh karenanya tidak dapat dipahami oleh rasionalitas manusia. (3). Pengetahuan adalah suatu nilai kemanusiaan yang penting, lebih tinggi daripada kebodohan. Ketiga prinsip transedental tersebut menjadi landasan seluruh tradisi ilmiah, tapi prinsip-prinsip tersebut adalah tipe pernyataan yang tidak dapat diuji oleh metode-metode yang diterima oleh tradisi ilmiah barat modern. Dengan demikian ilmu sebagai suatu lapangan kerja, dalam mewujudkan keberadaannya membutuhkan prinsip-prinsip transedental. Adapun kelebihannya antara lain[12]:
1. Dengan pandangan positivisme maka manusia akan terdorong dengan semangat optimisme untuk bertindak aktif dan kreatif.
2. Positivisme telah mendorong laju kemajuan di bidang fisik dan teknologi. Karena positivisme menganggap bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian positivisme dapat dijadikan formula untuk mengawali kebangkitan Islam yang selama ini dianggap terpuruk dibanding dengan Barat, terutama di bidang ilmu alam (sains).
3. Dengan munculnya pandangan tersebut, maka lahirlah model-model ilmu pengetahuan yang positif yang lepas dari muatan spekulatif, beserta hukum-hukumnya yang umum dan dinyatakan berlaku untuk segala-galanya.
4. Filsafat positivisme sangat berharga dalam usaha untuk lebih memahami implikasi penggunaan ilmu pengetahuan modern beserta teknologinya yang sangat menentukan hidup dalam kehidupan manusia dewasa ini.

             2.     Kekurangan
positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”[13].
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo.
1.      Kritik pertama bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti.
2.      Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.
3.      Paham positivisme dalam usaha memecahkan suatu masalah di masyarakat bertitik tolak dari konsep, teori, dan hukum yang sudah mapan yang mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang khas dari masyarakat yang diteliti dan kurang mementingkan kepentingan praktis.
4.      Kaum positivis mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial di masyarakat tanpa memperhatikan keadaan individu secara utuh.







BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

       Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Positivisme ini didirikan oleh seorang filsuf terkenal bernama August Comte yang memiliki biografi yaitu: Nama lengkap Aguste Comte adalah Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, dia  dilahirkan di Montpellier, Prancis Selatan 17 januari 1798. Keluarganya beragam Katholik yang berdara bangsawan. Meskipun demikian, Aguste Comte tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Dia memulai meniti pendidikan di Lycee Joffre dan Montpellier, setelah ia menyelesaikan pendidikan itu, di melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnigue di paris Selatan selama 2 tahun antara 1814-1816.
August Comte membagi positivisme menjadi 3 tahapan perkembangan yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.    Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3.    Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

            Sebagai akibat dari pengaruh August Comte dalam perkembangan intelektual pada masa itu adalah ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Ciri-ciri umum positivisme yaitu: Objektif atau bebas nilai, Fenomenalisme, Nominalisme, Reduksionisme, Naturalisme, dan Mekanisme. Pendekatan Ilmiah Positivistik sebenarnya tidak bisa digunakan untuk mengkaji Islam, karena sifatnya yang menolak hal-hal metafisik, sementara agama termasuk Islam sangat kental dengan hal-hal metafisik. Empirisme yang menjadi hal mutlak dalam Positivisme juga tentu akan bertabrakan dengan agama yang tidak selalu memiliki aspek empirik. Namun, pendekatan ini bisa dijadikan sebagai metodologi Studi Islam bisa digabungkan dengan pemikiran theologis, yang kemudian menghasilkan karya-karya yang tetap memiliki seluruh aspek agama namun memiliki tingkat keilmiahan (memiliki sifat dapat diterima akal oleh semua kalangan) yang tinggi pula.












DAFTAR PUSTAKA


Diakses di http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positifisme,html, 11 mei 2017, pada pukul 10:00 WIB.
Kamus Inggris Indonesia, John M Echols, Gramedia Jakarta, 1982, hal 439.
Diakses di http://abdullahqiso.blogspot.co.id/2013/12/Positifisme-August-Comte.html, 11 Mei 17, pada pukul  13:30 WIB.
Prof.DR.Kuntowijoyo.Pengantar Ilmu Sejarah.2005.Yogyakarta.Bentang Pustaka.
Diakses di http://rennynatalia.blogspot.co.id/2013/01/Positivisme-Auguste-Comte_3.html, 11
Mei 2017,pukul 14:00 WIB
Diambil dari Jurnal Wahidahwati, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme dan Hubungannya dengan Konsep Agama, JAMBPS, 2007
Diakses dari http://1sk4nd4r.wordpress.com/islam/, 11 Mei 2017, pada pukul 15:00 WIB.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian.
Budi Hardiman, Filsafat Modern.
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika. (2003. Bogor: Kencana).









[1] Diakses di http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positifisme,html, 11 mei 2017, pada pukul 10:00 WIB.
[2] Kamus Inggris Indonesia, John M Echols, Gramedia Jakarta, 1982, hal 439.
[5] Prof.DR.Kuntowijoyo.Pengantar Ilmu Sejarah.2005.Yogyakarta.Bentang Pustaka.
[6]  Diakses di http://rennynatalia.blogspot.co.id/2013/01/Positivisme-Auguste-Comte_3.html, 11 Mei 2017,pukul 14:00 WIB

[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Diambil dari Jurnal Wahidahwati, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme dan Hubungannya dengan Konsep Agama, JAMBPS, 2007
[10] Ibid
[11] http://1sk4nd4r.wordpress.com/islam/
[12] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian......., h. 41 dan juga lihat Budi Hardiman, Filsafat Modern......., h. 214
[13] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika. (2003. Bogor: Kencana), h. 136.


tambahan, maaf melenceng. bisa di subscribe, like, comment, dan share ya...!!

Laporan Magang Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung Tahun 2020

  LAPORAN MAGANG DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDAR LAMPUNG   Disusun oleh : TESSA MILTASARI              1651010443       ...