MAKALAH
FIQH DAN USHUL FIQH
TAQLID,
TALFIQ, ITTIBA’ DAN IFTA
Nama
Dosen : Indah Dian sari, S.H.I., M.H.I.
KELAS
F
Disusun
Oleh:
Tessa
Miltasari 1651010443
PROGRAM
STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan nama
Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan
kepada-Nya, serta salawat dan salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul “TAQLID,
TALFIQ, ITTIBA’, IFTA”.
Uraian
setiap topik dalam tulisan ini penulis sajikan dengan materi-materi yang
menerangkan tentang konsep-konsep yang terdapat dalam Ushul Fiqh Islam. Sedang
untuk penelusuran yang lebih jauh dan mendalam pembaca dapat mengadakan kajian
pada buku, kitab ataupun referansi lainnya yang dianggap relevan dengan topik
bahasan ini.
Akhir kata
saya mengucapkan terimakasih, mudah-mudahan makalah ini dapat sedikit menambah
wawasan dan berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Bandar Lampung, 21 April 2017
Tessa Miltasari
DAFTAR ISI
JUDUL..............................................................................................................................I
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................II
DAFTAR
ISI....................................................................................................................III
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
masalah.....................................................................................1
B. Rumusan
masalah..............................................................................................2
C. Tujuan
masalah.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Taqlid.....................................
..........................................................................3
B. Talfiq...............................................................................................................10
C. Ittiba’
.............................................................................................................18
D. Ifta
..................................................................................................................21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................23
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah
Ilmu Ushul Fiqh
merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna
untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar
dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan
jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan
dengan dalil lainnya. Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid, ittiba’,
dan ifta. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda.
Makalah ini mencoba
menguraikan masalah yang berkenaan dengan Talfiq, taqlid, ittiba’, dan ifta
yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita
butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh karena itu kita
dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk
materi ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan
atau pertanyaan tentang masalah ini. Makalah ini hanyalah sebagai pengantar, agar
nantinya kita bisa lebih mendalami dengan mengkaji khazanah-khazanah
keilmuan yang ada di negeri ini.
B. Rumusan masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan taqlid, hukum, ketentuan,
syarat-syarat, serta jenisnya?
2.
Apakah yang dimakasud dengan talfiq, ruang lingkup,
sudut pandang dari para ulama, serta juristifikasi dalil syariah pada hukum
talfiq?
3.
Apakah yang dimaksud dengan ittiba’, hukum, pendapat
para ulama mengenai ittiba’, serta macam-macam ittiba’?
4.
Apakah yang dimaksud dengan ifta serta kedudukannya dalam
islam?
C. Tujuan masalah
1.
Untuk mengetahui
pengertian, hukum, ketentuan, syarat-syarat, serta jenis dari taqlid.
2.
Untuk mengetahui
pengertian, ruang lingkup, sudut pandang para ulama, serta juristifikasi dalil
syariah pada hukum talfiq.
3.
Untuk mengetahui
pengertian, hukum, pendapat para ulama, serta macam-macam dari ittiba’.
4.
Untuk mengetahui
pengertian ifta serta kedudukannya dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TAQLID
a.
Pengertian
Taqlid
Secara
Etimologi taqlid adalah “Mengalungi” atau “Memakaikan Kalung” kemudian
diambil pemahaman bahwa Taqlid adalah “Mengikuti seseorang secara
patuh,” dapat juga berarti وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة “Meletakkan
sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang."[1][1] secara
sederhana dapat di artikan قبول قول بلا حجة “menerima pendapat
orang lain tanpa hujjah.”[2][2] Pengertian
lain seperti yang diungkapkan oleh Mardani[3][3] وضع الشيء في العنق محطا به كالقلادة “Meletaki
sesuatau dilehernya dengan mengitarinya seperti kalun.” Secara Terminologis
Taqlid adalah:
اتباع من ليس
قوله حجة
Sedangkan
Menurut Ulama Lain Taqlid adalah seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Hummam,
yang dikutib oleh Amir Syarifuddin.
التقليد
العمل بقول من ليس قوله احدى الحجج بلا حجة منها
“Taklid
adalah beramal dengan pendapat seseorang yang tidak berkedudukan sebagai hujjah
tanpa mengetahui hujahnya.”[5][5]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy Taqlid
Adalah:
العمل بقول
من ليس قوله احدى الحجج الشرعية بلا حجة منها
“Mengamalakan
pendapat orang yang pendapatnya itu bukan suatu Hujjah Syariyyah, Tanpa ada
hujjah.”[6][6]
Menurut
al-Amidi, seperti yang dikutib oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, bahwa mengambil
suatu hukum dengan dalilnya, walaupun sesuai dengan pendapat seorang mujtahid,
maka dinamai ittiba’, bukan Taqlid. Karena sebenarnya dia mengambil dari dalil
bukan dari mujtahid. [7][7] Lebih
lanjut beliau mengatakan, Ringkasnya Ittiba’ adalah:
اتباع ما ثبت
عليه حجة
Sedangkan
Muttabi’ adalah:
والمتبع كل
من اوجب عليه الدليل اتبا قول غيره
Dari
defenisi yang dikemukakan oleh para pakar diatas, maka dapat dirumuskan hakikat
taqlid dengan:
a.
Taqlid
beramal dengan pendapat orang lain.
b.
Pendapat
orang lain itu bukan hujah.
c.
Orang yang
mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari
pendapat yang di ikutinya.
b. Hukum Bertaqlid
Terdapat
perbedaan pandangan ulama dalam masalah boleh atau tidaknya bertaqlid, terhadap
pendapat orang lain. Hal ini dapat di kelompokan sebagai berikut:[10][10]
1. Taqlid yang
dilakukan oleh mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beberapa
pendapat, yaitu:
a) Kebanyakan
ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid melakukan taqlid
secara mutlak, karena ia mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya.
b) Ahmad bin
hanbal, Abu ishak bin al-rawahaih dan sofyan al-tsauri mengatakan boleh
mujtahid melakukan taqlid kepada mujtahid lain secara mutlak.
c) Imam syafi’i
dalam qaul qadimnya (waktu di iraq) berpendapat boleh mujtahid bertaqlid kepada
mujtahid lain dalam level shahabat nabi dan tidak boleh kepada mujtahid
lainnya.
d) Muhammad bin
hasanal syaibani berpendapat boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain yang
lebih alim dari dirinya.
e) Ulama lain
berpendapat bahwa boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain, tatapi hanya
untuk diamalkannya sendiri dan tidak untuk difatwakannya.
f)
Ibn sureij
berpendapat bolehnya mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain bila ia menghadapi
keterbatasan waktu untuk berijtihad sendiri.
g) Ulama lain
berpendapat bolehnya seseorang mujtahid taqlid kepada mujtahid lainn bila ia
seorang yang sedang bertugas sebagai qadhi.
2. Hukum taqlid
yang dilakukan oleh al-Muttabi’ atau alim. Dalam hal ini ulama juga berbeda
pendapat sebagai berikut:
a) Tidak boleh
seorang alim bertaqlid kepada mujtahid karena ia mempunyai kemampuan untuk
mendapatkan hukum dengan sendriinya. Walaupun ia belum mencapai kemampuan
mujtahid.
b) Boleh
seorang alim bertaqlid kepada mujtahid lain dengan syarat ia dapat mengetahui
kekuatan dalil yang digunakan mujtahid yang diikutinya itu..
3. Hukum
bertaqlid yang dilakukan orang awam kepada seorang mujtahid. Hal ini juga
menjadi tempat perbedaan pendapat. Yaitu:
a) Menurut
al-Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama lainnya berpendapat
bahwa beleh orang awam dan orang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad untuk
bertaqlid. Bahkan ada yang mewajibkannya. Hal ini berdasarkan pemahaman dari
surah An-Nahl ayat 43.
b) Golongan
mu’tazilah baghdad berpendapat tidak boleh orang awam bertaqlid, tetapi ia
wajib mencapai hukum melalui ijtihadnya dan untuk itu ia harus belajar.
c) Al-Jubba’iy
berpendpat boleh seorang awam bertaqlid dalam bidang ijtihadiyah dan tidak
boleh dalam hal –hal yang ada nashnya yang jelas.
Dalam
masalah taqlid, Ibn Subki mengelompokan ummat pada empt kelompok yaitu seperti
yang dikutib oleh Mardani[11][11]
sebagai berikut:
1.
Orang awan
yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali.
2.
Arang alim
yang belum mencapai tingkat mujtahid.
3. Orang yang
mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhan).
4.
Mujtahid.
Menurut
beliau bertaqlid tergantung pada tingkatannya dalam pengelompokan diatas. Orang
yang telah sampai ke tingkat mampu berijtihad tetapi baru sampai ke tingkt zhan
maka dikategorikan mujtahid penuh.
c. Ketentuan Bertaqlid
Seseorang
yang akan bertaqlid kepada seorang mujtahid, di isyaratkan bahwa ia mengetahui
orang yang di ikutinya itu memang mempunyai kemampuan untuk ber ijtihad dan
bersifat ‘adalah. Yaitu tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak
sering melakukan dosa kecil, dan selalu menjaga Muruahnya. Pengetahuannya itu
dicukupkan dari berita yang masyhur ditengah umat.
Asy -Sy aikh al-'Allamah
Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin membagi taqlid dalam dua jenis[12][12],
yaitu:
Pertama: seseorang berpegang
pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2
dalam semua urusan agamanya. Dan para 'ulama telah berbeda pendapat dalam
masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut
dikarenakan (menurut mereka) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur
(tidak mampu,) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya
hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam
mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat
kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi
ijma' dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan." Beliau juga berkata :
"Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang
menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada 'ulama lain yang memberinya fatwa
dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur
syar'i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah
orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar'i,
dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang
mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan
dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah
seorang 'ulama yang berpendapat adalah lebih 'aalim (tahu) tentang
masalah tersebut daripada 'ulama yang lain, yang mana 'ulama tersebut lebih
bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk
dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan
wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
Kedua: seseorang mengambil
pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak
mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki
atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
d. syarat-syarat taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari
dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.[13]
Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
1) Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak
mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain
yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang
pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad
sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan
dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal
ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai
lainnya.
2) Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan
syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti
mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga
hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal,
dan setiap orang mempunyai akal.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam
mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis
dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad
Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.[14]
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal,
sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid
yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan
sebagainya.[15]
Taqlid ada dua jenis : umum
dan khusus.
1.
Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2
dalam semua urusan agamanya.
Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam
masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut
dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur
(tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat
haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak
dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam
segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang
kebolehannya masih dipertanyakan.”
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang
suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa
taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil
yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan
yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku
keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi
jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas
yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan
memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih
‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana
‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya,
lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka
ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
2.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil
pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak
mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki
atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.[16]
B. TALFIQ
A. Definisi Talfiq
Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti
menjahit atau menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), Di bawah
ini adalah beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Ushul
al-fiqh:
Pertama, Talfiq berarti mengerjakan sesuatu
dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata
lain mengambil satu qodliyah (rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa
rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada
hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampur adukkan
perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat
atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak
pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .
Kedua, beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan
dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang
kedua.
Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat
atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh
seseorang atau imam madzhab manapun .
Keempat, Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat
madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab .
contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:
1. Seseorang berwudlu tanpa
menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu
dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan
wudhu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia
pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam
wudhu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah,
wudhu’nya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan,
jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudhu’nya tidak sah karena tidak melakukan
al-dalku atau menggosok.[17]
2. Seseorang bertaqlid
kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam
berwudhu’, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah
yang berpendapat tidak batalnya wudhu’ ketika bersentuhan dengan perempuan
tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudhu’ seperti ini untuk menunaikan sholat
itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun.
Alhasil kedua contoh di
atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena telah keluar dari madzhab
empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang kelima.Sebagian contoh talfiq
dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki menikahi perempuan
dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah, kemudian
praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa menghadirkan saksi
mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan
karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama. [18]
2. Membuat undang-undang pernikahan dimana
akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti madzhab
Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab
Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh tanpa
ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan dengan
alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para
ulama.
B. Ruang Lingkup Talfiq
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini
terbatas pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah
(cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah
ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah
ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak
dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika
hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas keharamannya dengan adanya
nash qoth’i, seperti zina dan minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1. Hukum yang berdasar pada
kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap
manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah, karena dalam
masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri
seorang hamba kepada Allah Swt.
2. Hukum yang didasarkan
pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan
dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat mudharat. Dalam hukum ini
tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan
darurat. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda :
“Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan
kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.[19]
3. Hukum yang didasarkan
pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had
dan transaksi sosial ekonomi.[20]
C. Sudut Pandang Ulama Tentang Talfiq
Menanggapi hukum boleh tidaknya talfiq ini, ulama‘ terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu :
Pertama, kelompok yang tidak membolehkan adanya talfiq, kelompok ini diwakili oleh
syeikh Ibnu Abdul Bari, menurut beliau orang awam tidak boleh bertalfiq, karena
hal tersebut hanya akan menghilangkan taklif (pembebanan) hukum yang
diperselisihkan (mukhtalaf fih) oleh para ulama.
Pendapat pertama ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali.
Beliau melarang praktik talfiq dengan alasan hal tersebut condong pada
mengikuti hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang
liarnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at
bukan kepada hawa nafsu. Beliau menyitir ayat al-Quran yang berbunyi :“Jika
kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah
Swt.
Kedua, kelompok yang membolehkan praktik talfiq, diantaranya adalah sebagian
ulama‘ Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi‘i serta Abu Hanifah: mereka membolehkan
talfiq dengan alasan bahwa larangan talfiq tersebut tidak ditemukan dalam
syara‘, karenanya seorang mukallaf boleh menempuh hukum yang lebih ringan.
Selain itu, ada hadits Nabi (qauliyah maupun fi‘liyah) yang menunjukkan
bolehnya talfiq. Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Aisyah, Nabi
bersabda:
” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.[21]Dalam hadits lain beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. [22]DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat.[23]
” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.[21]Dalam hadits lain beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. [22]DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat.[23]
‘Izzuddin Bin Abdi al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi
orang awam mengambil rukhsah beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut
adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu
al-allahi yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. [24]Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama
ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap
semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Kalau kita lihat beberapa pendapat di atas, ternyata tidak
ada qoul (pendapat) yang membolehkan talfiq secara mutlak. Oleh karena itu, ada
beberapa klasifikasi talfiq yang perlu diperhatikan. Pertama, talfiq batal
secara esensi, seperti melakukan sesuatu yang menyebabkan penghalalan barang
yang haram, seperti menghalalkan khamr, zina dan lainnya. Kedua, talfiq yang
dilarang bukan pada esensinya, tetapi karena faktor eksternal. Dalam kasus
kedua ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Mengambil pendapat yang
mudah-mudah seperti mengambil pendapat setiap mazhab yang termudah bukan karena
dharurat atau ‘udzur. Hal ini dilarang agar seseorang tidak melepaskan diri
dari pembebanan-pembebanan syar’i.
2) Talfiq tidak boleh
berlawanan dengan keputusan hakim.
3) Talfiq tidak boleh
mencabut kembali hukum atau keputusan yang telah diikuti atau disepakati ulama.[25]
Alhasil, demi kemaslahatan, sebenarnya masih ada ruang untuk
talfiq. Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi dharurat, maka talfiq menjadi
satu-satu pilihan yang mesti kita tempuh asal jangan sampai bertentangan dengan
spirit syara‘(maqashid al-syari’ah). Yang penting, praktik talfiq bukan sekedar
untuk mengambil kemudahan saja, tetapi bertujuan agar keluar dari jeratan
kemudharatan.
D. Justifikasi Dalil Syariah Pada Hukum Talfiq
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil
shorih yang menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq.
Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari
apa yg dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana mereka
beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah
terjadi perbedaan pendapat antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas
ulama` berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan
menyalahi sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti
contoh, Iddah (masa penantian) wanita hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam
masalah ini ada dua pendapat dimana ulama yang pertama berpendapat untuk
menunggu setelah selesai melahirkan, dan yang kedua berpendapat untuk
menggunakan waktu yang lebih lama diantara kedua waktu tadi (ab`adu
al-ajalain). Maka dalam hal ini tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga
yaitu, penantiannya si perempuan tadi hanya satu bulan saja .
Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq
itu tidak absolut adanya, karena kalau kita mau melihat dengan seksama,
permasalahan talfiq itu sendiri baru dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir
(Muttakhirun) pada masa masa kemunduran islam. Atau lebih jelasnya masalah
talfiq ini tidak di jumpai pada zaman ulama terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa
Rosulullah Saw dan para sahabat, juga pada masa imam-imam madzhab dan murid
muridnya. Pada masa Rosulullah Saw jelas sekali tidak adanya praktek talfiq,
karena pada masa itu masa turunnya wahyu dan tidak membutuhkan praktik ijtihad
di dalamnya. Begitu juga tidak di jumpainya permasalahan talfiq pada masa Sahabat
dan Tabi`in, karena apabila ada seseorang yang menanyakan tentang suatu masalah
kepada mereka, mereka memfatwakan dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat
mereka dan tidak juga melemahkan pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada
masa imam madzhab empat dan para sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang
pengikutinya untuk beramal pada madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka
mengambil pendapat dari yang lain dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka
dalam permasalahan furu`iyyah.
Dari kutipan-kutipan
pendapat di atas tadi telah memberikan pemahaman kepada kita bahwasannya tidak
adanya dalil yang jelas atas kebolehan dan pelarangan talfiq itu sendiri, maka
secara tidak langsung akan menunjukan atas kebolehan talfiq tersebut. Sesuai
dengan kaidah fiqhiyyah yg berbunyi “ Asal setiap sesuatu itu adalah mubah
(boleh)” sampai ada dalil syar`i yang tegas melarangnya . Sebagai mana hadits
Rosulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan ialah sesuatu yang diperbolehkan
oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman ialah sesuatu yang dilarang oleh
Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila tidak tersebutkan maka dima`fu
olehnya dan tidak memberatkan atas kamu” . Dan pelarangan atas talfiq tadi
itu juga akan menyebabkan ketidak bolehan taqlid yang semestinya diwajibkan
terhadap orang awam yang notabenya sebagai pemula dan memungkiri bahwasannya
perbedaan para imam adalah rahmat bagi umat Islam. Demikian pula mengingakari
asas-asas syari`at yang diciptakan untuk mempermudah umat manusia dan
menghilangkan pembebanan atasnya, karena sesungguhnya agama Allah itu mudah
bukan untuk memberatkan umatnya. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat al
Baqarah ayat 185: yang artinya : “Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”. Meski ayat di atas menyangkut pada
hal kebolehan orang yang berbuka puasa di dalam perjalanan pada waktu bulan
Ramadhan, tetapi tujuan umum ayat di atas ialah menyeluruh pada tiap-tiap
permasalahan agama.
C. ITTIBA’
a)
Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’
berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”,
“Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang
dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ
أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu
mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi
definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .
“menerima
perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan
definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah
mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
b.
Hukum
Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas,
jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama
tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan,
dinamakan “Muttabi”.[26]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’
adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu
dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit
sekali kamu mengambil pelajaran”. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita
telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil
yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi
yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ
الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)
“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur
Rasyidin sesudahku.” (HR.Abu Daud)
c. Pendapat
Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa
ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang
atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti
pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
a.
Ittiba’
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b.
Ittiba’
kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu
dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit
sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan
Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan
ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’
kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan
firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada
orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang
punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang
ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman
semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan
banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran
dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada
orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid,
seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila
seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia
wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar
mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin
sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan
karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh
pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama
diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya
kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan
keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan
kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti
ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.[27]
d. Macam-macam ittiba’
Macam-macam Ittiba’, ada dua macam ittiba’, yakni ittiba’ kepada Allah dan
kepada Rasul-Nya, dan ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
a.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya
Ulama’
sepakat bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah SWT
dan menjauhi larangan-Nya.
“ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin.
Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al A’raf (7):3)
b.
Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-nya.
Ulama berbeda pendapat tentang
ittiba’ kepada ulama atau para mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan para sahabatnya
saja. Tidak boleh kepada yang lain. Hal ini dapat di ketahui melalui perkataan
beliau kepada Abu Dawud, yaitu
“berkata Daud, aku mendengar Ahmad
berkata, Ittiba’ itu adalah seorang yang mengikuti apa yang berasal dari Nabi
SAW. Dan para sahabatnya”.[28]
D. IFTA
1.
Fatwa (IFTA’)
Kata fatwa
(kemudian disebut dalam istilah bahasa Indonesia) sepadan dengan kata Ifta’
yang berakar dari afta, berarti penjelasan tentang suatu masalah.[29]
Secara etimologi kata ifta’ (افتاء)terambil dari akar kata “يفتى- افتاء- افتى” yang berarti memberi penjelasan , memberi
jawaban dan atau berarti memberi fatwa. Ifta’ itu pada intinya adalah usaha memberikan
penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahea yang dimaksud dengan ifta’ ialah
kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai jawaban atas dasar pertanyaan
yang diajukan.
Dari segi terminologi fatwa
adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan
pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga dinamakan
dengan petuah. Sedangkan dalam ilmu ushul feqih, fatwa adalah pendapat yang
dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan
peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat.[30]
الإِخْبَارُ
عَنْ حُكْمِ الله تَعَالى بِمُقْتَضَى الأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى جِهَةِ
الْعُمُوْمِ وَالشُّمِ
“fatwa ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah
yang mencakup segala persoalan”.
Menurut ulama Hanafi, ifta’
adalah menjelaskan hukum terhadap suatu permasalahan (bayan hukm al-mas’alah).
Dalam pandangan ulama Maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum
syariat dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-shar‘i ‘ala
ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi
mendefinisikan ifta’ sebagai “menjelaskan hukum syariat tentang satu persoalan
sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang penanya, baik yang jelas maupun
samar, individual maupun kolektif” (bayan al-hukm al-shar‘i fi qadiyyah min
al-qadaya jawaban ‘an su’al sa’il mu‘ayyan kan aw mubham, fard aw jama‘ah).[31]
2. Kedudukan Ifta’ (fatwa)
Kedudukan
fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al
Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama
sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
Disebutkan
didalam kitab Al-Mjmu’ tersebut “kalian harus mengerti bahwa fatwa
berfatwa itu adalah satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi
ia mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan
sembarang orang melainkan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah
harus melaksanakan urusan itu” Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah
penyambung lidah para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. untuk menyampaikan perkara-perkara
agama kepada umat dibumi ini.
بلغوا عنى ولو اية
”Hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka
dariku sekalipun hanya satu ayat.”(HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Ibnu Abidin menjelaskan
bahwa orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama.
Mereka yang dikenal fasik dengan sendirinya tak memiliki otoritas mengeluarkan
fatwa. Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka yang terkenal fasik haram
mengeluarkan fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya menjadi bukti kuat akan
bobot fatwa yang dikeluarkan.[32]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa taqlid adalah menerima
pendapat orang lain tanpa hujjah serta Terdapat perbedaan pandangan ulama
dalam masalah boleh atau tidaknya bertaqlid, terhadap pendapat orang lain
tentang hukum-hukum bertaqlid yang dikelompokkan menjadi beberapa kelompok
menurut para ulama.dan memiliki ketentuan untuk Seseorang yang akan bertaqlid
kepada seorang mujtahid, di isyaratkan bahwa ia mengetahui orang yang di
ikutinya itu memang mempunyai kemampuan untuk ber ijtihad dan bersifat ‘adalah.
Yaitu tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa
kecil, dan selalu menjaga Muruahnya. Pengetahuannya itu dicukupkan dari berita
yang masyhur ditengah umat.
Talfiq
menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau menggabungkan . pada
hal ini ruang lingkup talfiq menurut Para ulama` fiqh sepakat bahwa hanya terbatas
pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih
ijtihadi yg masih perkiraan).
Ittiba’
adalah mengambil atau menerima perkataan
seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat
pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang
diaagap lebih kuat dengan jalan membanding. Hukum ittiba’ adalah Wajib
bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah,
sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu
dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit
sekali kamu mengambil pelajaran”. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita
telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil
yang merubahnya.
Ifta adalah usaha memberikan
penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum
mengetahuinya. Kedudukan fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam
kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan.
DAFTAR
PUTAKA
al-'Utsaimin, Asy -Sy aikh al-'Allamah
Muhammad bin Sholeh. 2007. Prinsip
Ilmu Ushul Fiqih.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1974. Pengantar Ilmu
Ushul Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali
Pers.
Syarifuddin, Amir. 2012 Garis-Garis Besar Ushul
Fiqh. Jakarta:Kencana.
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung :
Pustaka Setia, cet. 2, 2001).
HTTP://syedelee.tripod.com/keunggulanislam/id50.html, diakses pada tanggal 18
april 2017 pada pukul 19:45 WIB.
http://adiabdullah.wordpress.com/2008/01/24/81/, diakses
pada tanggal 18 april 2017 pada pukul 20:22 WIB.
Dr. Qurasy Shyhab, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta :
Departemen Agama IAIN, 1986.
Yahya, Mukhtar dan Fathur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami. Bandung : Al ma’arif, 1993.
Hanafie . A, Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma, 1993.
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua,
Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010.
A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta:
Widjaya, 1963.
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih,
Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006.
Koto Alaiddin , Ilmu Fiqih dan Ushul
Fiqih: PT Raja Grafindo persadaa, Jakarta, 2004.
Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat,
(Jeddah :Al-haromain), tanpa tahun.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta.
2005
Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub
(Kairo: Dar Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988).
[1][1] Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip
Ilmu Ushul Fiqih, hal. 133
[2][2] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012),
Hal. 163. Lihat juga T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, pengantar ilmu fiqh, (jakarta:
bulan bintang, 1974), Hal.190.
[13]
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul
Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001), hal. 155.
[14]
Loc.cit.
[15] Loc.cit.
[17] Syarh al-Asnawi,
III, 266, Tuhfah al-Ra’yi al-Sadid, V, 79.
[18] Syarhu
al-Tanqih, 386
[19] al-Bukhari,
258
[20]
‘Umdatu al-tahqiq,127
[21] Fathu
al-Bari, X, 524)
[23]
Ushul al-Fiqh al-Islamiy, II, 1181
[24]
Fatawa Saikh ‘Alaisy,I,78
[25]
Ushul al-Fiqih al-Islami, II,
1176-1177
[26]
A. Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 196
[29]
Ali Bin
Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain)
hal.32
[31] Yusuf
al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar
Sahwah li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hal. 11
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.