MAKAKALAH
FILSAFAT UMUM
POSITIVISME
AUGUST COMTE DAN PANDANGAN DALAM ISLAM
NAMA
DOSEN PEMBIMBING: SOHIBUL IHSAN,S.H.,M.H.
KELAS
F
NAMA
KELOMPOK 6:
SANIMAN
1651010466
SELA
INDAH PAMELA 1651010464
SELVI
YANA 1651010429
SHOPIA
ANANDA 1651010453
SITI
UMI NUR AISYAH 1651010469
TESSA
MILTASARI 1651010443
YAYAN
JANAFI 1651010460
PROGRAM
STUDI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur hanyalah teruntuk kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayangnya kepada setiap makhluknya,
Dialah yang mengawasi setiap gerak gerik kita, kapanpun dan dimanapun kita
berada dan tidak seorang makhluk apapun yang dapat melebihi kekuasaannya.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
keharibaan kita, junjungan kita yang telah membawah nilai-nilai kebenaran pada
saat dunia berada di era bobroknya nilai-nilai setiap tingkah laku manusia,
atau yang biasa disebut pada zaman jahiliah.
Di era zaman yang semangkin maju dan penuh persaingan
ini, sudah semestinya kita memahami dan mempelajari apa itu filsafat, karena
itu sudah menjadi kebutuhan bagi kita semua, karena kalau kita tidak bisa
mengikuti perkembangan zaman ini, maka kita akan mengalami ketertinggalan
pengetahuan, untuk sangat dirasa perlu untuk kita memahami apa yang sebenarnya
dikaji dam dikulas dalam filsafat itu.
Di dalam makalah ini, penulis akan mencoba mengulas salah
satu yang dibahas dalam filsafat, yaitu Positivisme Aguste Comte. Semga makalah
ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahauan bagi para pembaca terutama bagi
penulis sendiri, tetapi tentunya makalh ini masih jauh dari sempurna, karena
keterbatasan pemahaman penulis, unyuk itu saran dan kritik dari para pembaca
sanagat membantu dalam penyempurnaan buku ini.
Demikian, Terima kasih.
Penulis, 12 MEI 2017
KELOMPOK 6
DAFTAR
ISI
JUDUL.....................................................................................................................I
KATA PENGANTAR.............................................................................................II
DAFTAR ISI..........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
MASALAH.............................................................1
RUMUSAN MASALAH.............................................................................1
TUJUAN
MASALAH..................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
positivisme...........................................................................3
B. Biografi
singkat auguste comte dan teorinya.........................................4
C. Pengaruh
positivisme terhadap perkembangan intelektual....................5
D. Contoh
positivisme dalam kehidupan sehari-hari.................................10
E.
Kritik mengenai positivisme.................................................................11
F.
Ciri-ciri positivisme...............................................................................12
G. Pengaruh pendekatan ilmiah positivistik dalam Dalam
studi islam.......13
H.
Kelebihan dan
kekurangan pendekatan ilmiah Positivistik dalam
studi islam..............................................................................................16
BAB III PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................19
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................................21
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menghadapi filsafat positivisme, di
satu pihak orang mengatakan bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sebuah
metode atau pendirian saja, sedang di lain pihak orang mengatakan bahwa
filsafat positivisme itu merupakan
“sistem afirmasi”, sebuah konsep tentang dunia dan manusia, dan juga terdapat
seorang tokoh yang mengatakan bahwa sesungguhnya sejarah ilmu pengetahuan di
abad ke-19 tidak dapat ditulis tanpa positivisme. Sebutan “filsafat
positivisme” bagi suatu aliran filsafat muncul kembali pada abad ke 20, setelah
dahulu ada pada abad ke 18.
Salah
satu filsuf yang pertama kali melahirkan
positifisme yaitu Aguste Comte, untuk itulah
pada era dewasa menuntut kita
untuk memahami apa yang sebenarnya dikaji dalam filsafat itu sendiri, hal ini
tidak hanya harus dipahami oleh para ilmuan atau profesor saja, tapi mahsiswa
dituntut juga untuk dapat memahami yang dikaji dalam filsafat. Karena mahasiswa
itu nantinya yang akan menggantikan para filosofis saat ini, dan setiap preode
filsafat itu harus dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan positivisme?
2. Bagaimana
biografi singkat dan teori dari Aguste Comte mengenai positivisme?
3. Bagaimana
pengaruh positivisme terhadap perkembangan intelektual pada masa itu?
4. Sebutkan
contoh positivisme dalam kehidupan sehari-hari?
5. Bagaimana
kritik mengenai pisitivisme?
6. Sebutkan
ciri-ciri dari positivisme?
7. Apa
saja pengaruh pendekatan positistivistik ilmiah dalam studi islam?
8. Sebutkan kelebihan dan kekurangan pendekatan ilmiah
positivistik dalam studi islam?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk
dapat mengatahui pengertian dari positivisme.
2. Untuk
dapat mengetahui bagaimana biografi singkat dan teori dari Aguste Comte.
3. Untuk
dapat mengetahui pengaruh positivisme terhadap perkembangan intelektual pada
masa itu.
4. Untuk
dapat mengetahui contoh dari positivisme dalam kehidupan sehari-hari.
5. Untuk
dapat mengetahui kritik mengenai positivisme.
6. Untuk
dapat mengetahui ciri-ciri dari positivisme.
7. Untuk
dapat mengetahui pengaruh pendekatan positistivistik ilmiah dalam studi islam.
8. Untuk
dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan pendekatan ilmiah positivistik dalam
studi islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme secara etimologi berasal
dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa
yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini
berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya
ada di dalam angan-angan (impian) atau terdiri dari apa yang hanya merupakan
konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.[1]
Kata Positivisme merupakan turunan dari
kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu
positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan.[2]
Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada
sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan
data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu
yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu
seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini
berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau
apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme
secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian
kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi.
Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
B. BIOGRAFI SINGKAT AUGUSTE COMTE DAN
TEORINYA
a. Biografi
singkat Auguste Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Perancis, tahun
1798. Keluarganya beragama khatolik yang berdarah bangsawan. Meskipun demikian,
Auguste Comte tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Dia mendapat
pedidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup di sana. Di kalangan
teman-temannya, Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka
memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak
dalam mendukung Nepoleon dipecat. Dalam tinjauan singkat boigrafis mengenai
Comte, coser menekankan status Comte yang bersifat marginal di
kalangan intelektual Perancis. Karya Comte di bawah asuhan Saint Simon
kelihatan dan ketekunan untuk membuat dirinya sebagai seorang tokoh yang
terpandang di kalangan intelektual Perancis.
Kondisi ekonomi Comte
juga pas-pasan saja, dan hamper terus-menerus hidup miskin. Dia tidak pernah
mampu menjamin posisi profesional yang dibayar dengan semestinya dalam sistem
pendidikan tinggi Perancis. Banyak karirnya berupa memberi les privat,
menyajikan ide-ide teoretisnya dalam suatu kursus privat yang dibayar oleh
peserta-peserta, dan sekali menjadi penguji akademi kecil. Di akhir hayatnya,
dia hidup dari pemberian orang-orang yang mengaguminya dan pengikut-pengikut
agama Humanitasnya. Sementara Comte sedang mengembangkan filsafat positifnya
yang komprehensif, dia menikah dengan seorang bekas pelacur bernama Caroline
Massin, seoranbg wanita yang lama menderita, serta menanggung beban emosional
dan ekonomi dengan Comte.
Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang
berjudul Course of Positive Philosophy, Comte bertemu dengan Clothide de
Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun
lebih muda dari Comte. Clothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya
beberapa bulan sudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu
tergoncang; dia bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang
“bidadari”-nya itu. (Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang, 1986:77). Sifat tulis Comte
umumnya berubah secara mencolok setelah menjalin hubungan dengan Clothide de
Vaux. Dia memulai karya bagian kedua, yakni System of Positive
Politics, yang merupakan suatu pertanyaan menyeluruh mengenai strategi
pelaksananya praktis pemikirannya mengenai filsafat positif yang sudah
dikemukakannya terlebih dahulu dalam bukunya Course of Positive Philosophy.
Karena dimaksudkan untuk mengenang
“bidadari”-nya itu, karya Comte dalam politik positif itu didasarkan
pada gagasan bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupannya
adalah perasaan, bukan pertumbuhan inteligensi manusia yang mantap. Comte hidup
di akhir-akhir Revolusi Perancis, termasuk serangkaian pergolakan yang
tampaknya berkesinambungan, seperti pada saat rezeim Napoleon Bonarparte,
penggantian monarki, rovolusi, dan periode republik.[3]
Untuk memahami fisafat
positivisme Auguste Comte dalam pandangan umum dan khususnya dalam pengertian
pengembangan, Perlu sekiranya memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan “positif”menurutAuguste
Comte:
1)
Sebagai lawan atau kebalikan atas
sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian “positif” pertama diartikan sebagai sesuatu yang nyata.
2)
Sebagai lawan atau kebalikan atas
sesuatu yang tidak bermafaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai
pensidatan sesuatu yang bermanfaat.
3)
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu
yang meragukan, makapengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu
yang sudah pasti.[4]
b. Teori
Auguste Comte
Auguste Comte merupakan sosok
filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia
merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat
yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme. Aliran positivisme merupakan aliran produk
pemikiran Auguste Comte yang cukup
berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX
dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme
(Positivisme-Logis).[5]
Dasar-dasar filsafat ini dibangun
oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini
adalah apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga
metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala
gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif.
Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar
dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Menurut Comte dan juga para penganut
aliran positivisme, ilmu pengetahuan
tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi
Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah
mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan
demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat,
diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini,
kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan positivisme ke dalam agama atau
sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive
Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja
Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu
kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan
Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan)
tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak
mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap
benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan
akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya
pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi
disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai
masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi
Positivisme Comte yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna
yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam
kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang
dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau
oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah sedangkan sebaliknya yang tidak
dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah.
Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya
nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung kepada penataan
atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa
pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber
dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan
bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut,
akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan
tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk
mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan
meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan
gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan
sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif,
yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke
umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola
operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan
generalisasi-induktif. Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis,
dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah dan
menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif.
Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap
untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan
hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar dia dapat meramalkan apa yang akan
terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga
disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan
seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan
penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan
secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Terdapat
tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1.
Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte
dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E.
Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.
Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada
tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya
meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang
merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah
pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung
dengan subyektivisme.
3.
Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok
yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat
Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran
seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan
positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis,
struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Singkatnya, filsafat
Comte merupakan filsafat yang
anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara
positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang
ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir
(mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki
gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat
meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme
Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan
teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa
melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin
dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian
positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta,
menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan
pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga
berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja
positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak
setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia
juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan dengan
ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte
berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala
alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau
generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur
serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam
ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
C.
PENGARUH
POSITIVISME TERHADAP PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Positivisme yang diperkenalkan Comte
berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat
Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga
banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H.
Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of
Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi
pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada
abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari
orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh
Comte.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam
pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte
terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah
Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide
Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini
adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad
pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan
masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh
melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk
untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis.
Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan
mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of
sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan
pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum
Sebagai akibat dari pandangan tersebut,
maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana
halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut
merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya
“contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara
matematis dan fisis.
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste
Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme
Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.[6]
D.
CONTOH
POSITIVISME DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Sebagai mahasiswa kita pasti banyak
disibukkan oleh berbagai macam masalah yang ada mulai dari masalah asmara
sampai masalah perkuliahan yangs semakin menumpuk dari hari kehari atau untuk
para mahasiswa yang aktif dibidang organisasi pasti harus pandai dalam masalah
managemen waktu yang tidak jarang selalu bertabrakan. Contonya adalah ketika
kita harus menghadapi ujian akhir semester dan disaat itu juga kita sedang
sibuk dengan organisasi . Mungkin pada saat ini yang harus kita lakukan ialah
memperbaiki mental kita agar kita tidak terlalu terbebani dengan segala masalah
yang terasa semakin menumpuk. Maka kita harus bisa membedakan mana yang lebih
penting yaitu organisasi atau akademik, seperti kita harus memilih untuk
mengorbankan organisasi kita untuk mengejar akademik mungkin secara mental
pasti akan membuat fikiran kita terbebani karena kita merasa bahwa kita telah
melepaskan hal yang kita cintai namun kita juga harus berfikiran bahwa walaupun
kita meninggalkan hobby yang kita cintai tapi nantinya setelah kita
menyelesaikan Ujian Akhir Semester kita kan bisa kembali pada aktifitas kita di
organisasi sebab pasti akan sulit jika kita harus menyelesaikan masalah
keduanya sekaligus. Untuk itulah kita harus tetap berfikir positif dan percaya
diri dengan segala keputusan yang kita ambil agar tidak ada penyesalah diakhir
nantinya. Dan, terkait dengan positivisme mengenai menolak segala sesuatu yang
abstrak, hmmm... mungkin masalah-masalah yang muncul dalam hidup saya, harus
bisa saya saring mana yang sebenarnya nyata adanya, dan mana yang hanya abstrak
alias masalah tidak jelas juntrunganya. Seperti masalah dengan orang yang tidak
ada di depan mata kepala saya sendiri. Saya mungkin tidak akan bisa
menyelesaikan masalah tersebut, karena memang tidak bisa langsung saya amati.
Bukankah positivisme berarti memuaskan diri dengan melihat relasi-relasi dari
fenomena-fenomena yang dapat diamati? Objek yang jadi masalah saja tidak bisa
saya amati, bagaimana mungkin saya akan menjawab permasalahan saya. Jadi,
permasalahan tersebut hanya suatu yang abstrak. Ya, ya, saya akan memilah-milah
lagi masalah yang benar-benar nyata, agar pikiran saya bisa ringan sedikit.
E.
KRITIK
MENGENAI POSITIVISME
Positivisme Auguste Comte mengemukakan
tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap
teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia
dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh
filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan
ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu
humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala
menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan
terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat
positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera
manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah
pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi
hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya
dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada
pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi
Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan
pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu
bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan
gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan
terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan
melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas
landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan
meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses
tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang
demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut
Relativisme, karena menurut Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui
“kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis
berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran”
sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia,
“kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk
dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa
yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah
atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif,
melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan).
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran”
itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana
data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di
generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan
baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.[7]
F.
CIRI-CIRI
POSITIVISME
A. Objektif atau bebas nilai
Dikotomi
yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak
dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang
teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari
realitas (korespondensi).
B.
Fenomenalisme
Tesis
bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara
tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang
diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak
(antimetafisika).
C. Nominalisme
Bagi
positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.
Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyatan itu mengatasi
semua bentuk partikular logam: besi, kuningan, timah, dan lain-lain.
D.
Reduksionisme
Realitas
direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
E.
Naturalisme
Tesis
tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan
penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri
dan mengasalkan strukturnya sendiri.
F.
Mekanisme
Tesis bahwa semua gejala
dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan
mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai a giant
clock work.[8]
G. PENGARUH
PENDEKATAN ILMIAH POSITIVISTIK DALAM STUDI ISLAM
Pendekatan Ilmiah
Positivistik sebenarnya tidak bisa digunakan untuk mengkaji Islam, karena
sifatnya yang menolak hal-hal metafisik, sementara agama termasuk Islam sangat
kental dengan hal-hal metafisik. Empirisme yang menjadi hal mutlak dalam
Positivisme juga tentu akan bertabrakan dengan agama yang tidak selalu memiliki
aspek empirik. Namun, pendekatan ini bisa dijadikan sebagai metodologi Studi
Islam bisa digabungkan dengan pemikiran theologis, yang kemudian menghasilkan
karya-karya yang tetap memiliki seluruh aspek agama namun memiliki tingkat
keilmiahan (memiliki sifat dapat diterima akal oleh semua kalangan) yang tinggi
pula.
Burrel dan morgan (1979) menyatakan bahwa
cara pandang fungsionalist Paradigm banyak
dipengaruhi oleh physical realism yang melihat realitas sosial sebagai
sesuatu yang obyektif, berdiri secara independen di luar diri manusia[9]. Dengan kata
lain Paradigma positivisme adalah dualis (objectivis) yaitu ada realitas objektif
sebagai suatu realitas yang eksternal diluar penelitian. Peneliti harus sejauh mungkin
membuat jarak dengan objek penelitiannya.
Anggapan ini berarti manusia dianggap
pasif, artinya Positivism Paradigm meniadakan manusia aktif yang
sebenarnya dapat mengkontruksi kehidupan. Selain itu positive menggunakan pendekatan
deduktive dalam membuat kesimpulan. Pendekatan deduktif merupakan proses
berpikir dengan metode rasional untuk mendapat kebenaran guna menarik kesimpulan
yang bersifat individu dari yang bersifat umum, ini terlihat jelas pada proses pembentukan
hipotesis, dimana hipotesis diturunkan dari teori-teori atau hasil hasil penelitian
terdahulu.
Lebih jauh dikatakan bahwa tujuan penelitian
yang berlandaskan positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu
ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Pandangan ini menyatakan
bahwa hypotheticodeductive account dari
eksplanasi ilmiah, dan metode kuantitatif pengumpulan data dan analisis untuk
mengeneralisasi teori diakui sebagai cara yang baku. Ini berarti bahwa
paradigma positivisme mengarahkan individu atau organisasi tidak secara holistic,
karena mengisolasi individu dan organisasi ke dalam variable atau hipotesis
dan tidak memandangnya sebagai kesatuan yang utuh[10].
Diantara Ilmuan yang
menggunakan pendekatan ini adalah Prof. Dr. H. Aloei Saboe. Dia mencoba
mengkaji Islam dari pintu Positivisme dengan memadukan pendekatan positivistik
ilmu kedokteran dengan teologi dan pandangan Madzhab Fiqih.
Misalnya dalam segi
praktik Sholat. Tatacara mulai dari sikap awal hingga akhir menurut
masing-masing Madzhab ada perbedaan. Kita ambil posisi setelah takbiratul
ihrom, posisi berdiri. Menurut madzhab Syafi'iy, sikap tubuh tegak,
tangan dilipat di antara dada dan perut. Menurut madzhab Hanafiy, sikap
tubuh tegak dan tangan dilipat di depan perut agak di bawah pusar. Munurut
madzhab Maliky, sikap tubuh tegak dan tangan lurus sejajar dengan sikap
tubuh, tidak dilipat. Bila diteliti, sikap tubuh menurut madzhab Syafi'iy
dan Hanafy ternyata lebih sesuai dengan paradigma positivistik
kedokteran. Dengan penjabaran yakni Dengan posisi ini dapat diperpanjang
konsentrasi pengendoran kaki dan punggung. Membaca ayat-ayat Al Qur’an atau doa
dapat merangsang penyebaran 99 Nama Tuhan (Asmaul Husna) ke seluruh tubuh,
pikiran dan jiwa. Suara vokalnya akan merangsang jantung, kelenjer gondok (tyroid),
kelenjer pineal, kelenjer bawah otak, kelenjer adrenal dan paru-paru serta akan
membersihkan dan mengeringkan semua organ tersebut. Juga dapat menciptakan
sirkulasi darah, terutama aliran darah kembali ke jantung, serta produksi getah
bening dan jaringan yang terkumpul dalam kantong-kantong kedua persendian itu
menjadi lebih baik, gerakannya menjadi lancar dan dapat menghindarkan diri dari
penyakit di persendian, misalnya reumatik[11].
Bila ditarik kesimpulan
bahwa tatacara Sholat yang dalam hal di atas adalah sikap berdiri setelah takbiratul
ihram yang paling benar adalah menurut Madzhab Syafi'iy dan Hanafiy
karena yang paling sesuai dengan hasil kajian Ilmiah dari segi Ilmu Kesehatan,
maka paradigma seperti inilah yang dimaksud dengan positivisme. Namun akan
timbul persoalan, bahwasannya tatacara madzhab Maliky juga punya dalil
tersendiri, yaitu 'Amal Ahl al-Madinah. Dan metode istinbat
Imam Malik ini diakui kebenarannya secara Fiqih dan sah dalam keberadaannya
sebagai metodologi Fiqih. Dan kebenaran Fiqih itu pada dasarnya bukan atas
temuan ilmiah dari sains atau hal lain semacamnya, tapi berdasarkan kajian atas
sumber-sumber Islam yang dianggap valid (validitas ini pun mengacu pada
serangkaian verifikasi Fiqih). Maka di sinilah letak problematika penggunaan
metodologi Ilmiah Positivistik dalam Studi Islam.
H. KELEBIHAN
DAN KEKURANGAN PENDEKATAN ILMIAH POSITIVISTIK DALAM STUDI ISLAM
1. Kelebihan
Upaya memisahkan kebenaran agama dari
wilayah ilmiah adalah pendapat yang salah dan tidak dapat
dipertahankan.Pengetahuan fisika berakar dalam metafisika, namun metafisika
tidak dapt dipisahkan dari fisika. Metafisika diantaranya menyatakan bahwa :
(1). Dunia manusia
dibangun oleh hukum-hukum yang memungkinkan perilaku obyekobyek natural
berjalan dengan keteraturan dan regularitas. (2). Hukum-hukum yang membangun
keteraturan alam adalah rasional dan oleh karenanya tidak dapat dipahami oleh
rasionalitas manusia. (3). Pengetahuan adalah suatu nilai kemanusiaan yang
penting, lebih tinggi daripada kebodohan. Ketiga prinsip transedental tersebut
menjadi landasan seluruh tradisi ilmiah, tapi prinsip-prinsip tersebut adalah
tipe pernyataan yang tidak dapat diuji oleh metode-metode yang diterima oleh
tradisi ilmiah barat modern. Dengan demikian ilmu sebagai suatu lapangan kerja,
dalam mewujudkan keberadaannya membutuhkan prinsip-prinsip transedental. Adapun kelebihannya antara lain[12]:
1.
Dengan pandangan positivisme maka manusia akan terdorong dengan semangat
optimisme untuk bertindak aktif dan kreatif.
2.
Positivisme telah mendorong laju kemajuan di bidang fisik dan teknologi. Karena
positivisme menganggap bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid,
dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan
demikian positivisme dapat dijadikan formula untuk mengawali kebangkitan Islam
yang selama ini dianggap terpuruk dibanding dengan Barat, terutama di bidang
ilmu alam (sains).
3.
Dengan munculnya pandangan tersebut, maka lahirlah model-model ilmu pengetahuan
yang positif yang lepas dari muatan spekulatif, beserta hukum-hukumnya yang
umum dan dinyatakan berlaku untuk segala-galanya.
4.
Filsafat positivisme sangat berharga dalam usaha untuk lebih memahami implikasi
penggunaan ilmu pengetahuan modern beserta teknologinya yang sangat menentukan
hidup dalam kehidupan manusia dewasa ini.
2. Kekurangan
positivisme
dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan
menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa
fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi
ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme
biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”[13].
Kritik
juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini
didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan
realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung
status quo.
1. Kritik pertama bahwa positivisme
secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai
”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih
merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial.
Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan
secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial
sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang
yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti.
2. Kritik kedua menunjuk positivisme
tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif.
Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.
3. Paham positivisme dalam usaha
memecahkan suatu masalah di masyarakat bertitik tolak dari konsep, teori, dan
hukum yang sudah mapan yang mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang
khas dari masyarakat yang diteliti dan kurang mementingkan kepentingan praktis.
4. Kaum positivis mencari fakta-fakta
atau sebab-sebab dari gejala sosial di masyarakat tanpa memperhatikan keadaan
individu secara utuh.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa positivisme
berarti aliran filsafat yang beranggapan
bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.
Positivisme ini didirikan oleh seorang filsuf terkenal bernama August Comte
yang memiliki biografi yaitu: Nama lengkap Aguste Comte adalah Isidore Marie
Auguste Francois Xavier Comte, dia
dilahirkan di Montpellier, Prancis Selatan 17 januari 1798. Keluarganya
beragam Katholik yang berdara bangsawan. Meskipun demikian, Aguste Comte tidak
terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Dia memulai meniti pendidikan di Lycee
Joffre dan Montpellier, setelah ia menyelesaikan pendidikan itu, di melanjutkan
pendidikannya di Ecole Polytechnigue di paris Selatan selama 2 tahun antara
1814-1816.
August Comte membagi positivisme
menjadi 3 tahapan perkembangan yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme
pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada
teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang
dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte,
JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya
tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun
1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu
ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan
dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan
positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok
yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat
Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran
seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan
positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis,
struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Sebagai
akibat dari pengaruh August Comte dalam perkembangan intelektual pada masa itu
adalah ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory
sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi
tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan
adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan
secara matematis dan fisis.
Ciri-ciri umum positivisme yaitu: Objektif
atau bebas nilai, Fenomenalisme, Nominalisme, Reduksionisme, Naturalisme, dan Mekanisme. Pendekatan Ilmiah Positivistik sebenarnya tidak bisa digunakan untuk
mengkaji Islam, karena sifatnya yang menolak hal-hal metafisik, sementara agama
termasuk Islam sangat kental dengan hal-hal metafisik. Empirisme yang menjadi
hal mutlak dalam Positivisme juga tentu akan bertabrakan dengan agama yang
tidak selalu memiliki aspek empirik. Namun, pendekatan ini bisa dijadikan
sebagai metodologi Studi Islam bisa digabungkan dengan pemikiran theologis,
yang kemudian menghasilkan karya-karya yang tetap memiliki seluruh aspek agama
namun memiliki tingkat keilmiahan (memiliki sifat dapat diterima akal oleh
semua kalangan) yang tinggi pula.
DAFTAR PUSTAKA
Diakses
di http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positifisme,html,
11 mei 2017, pada pukul 10:00 WIB.
Kamus Inggris Indonesia,
John M Echols, Gramedia Jakarta, 1982, hal 439.
Diakses
di www.paleragroup.com/2012/04/Makalah-Filsafat-Riwayat-Hidup-August.html, 11 Mei 2017,pukul
13:00 wib
Diakses
di http://abdullahqiso.blogspot.co.id/2013/12/Positifisme-August-Comte.html,
11 Mei 17, pada pukul 13:30 WIB.
Prof.DR.Kuntowijoyo.Pengantar Ilmu
Sejarah.2005.Yogyakarta.Bentang Pustaka.
Diakses
di http://rennynatalia.blogspot.co.id/2013/01/Positivisme-Auguste-Comte_3.html, 11
Mei
2017,pukul 14:00 WIB
Diambil
dari Jurnal Wahidahwati, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme dan Hubungannya
dengan Konsep Agama, JAMBPS, 2007
Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitian.
Budi Hardiman, Filsafat
Modern.
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat & Etika. (2003. Bogor: Kencana).
[1] Diakses
di http://erna-peena.blogspot.com/2011/02/positifisme,html,
11 mei 2017, pada pukul 10:00 WIB.
[2] Kamus Inggris Indonesia, John M Echols,
Gramedia Jakarta, 1982, hal 439.
[3] Diakses di www.paleragroup.com/2012/04/Makalah-Filsafat-Riwayat-Hidup-August.html,
11 Mei 2017,pukul
13:00 wib
[4] Diakses di http://abdullahqiso.blogspot.co.id/2013/12/Positifisme-August-Comte.html, 11 Mei 17, pada pukul 13:30 WIB.
[5] Prof.DR.Kuntowijoyo.Pengantar Ilmu Sejarah.2005.Yogyakarta.Bentang
Pustaka.
[6] Diakses
di http://rennynatalia.blogspot.co.id/2013/01/Positivisme-Auguste-Comte_3.html, 11 Mei 2017,pukul 14:00 WIB
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]
Diambil
dari Jurnal Wahidahwati, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
dan Hubungannya dengan Konsep Agama, JAMBPS, 2007
[10] Ibid
[11]
http://1sk4nd4r.wordpress.com/islam/
[12] Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitian......., h. 41 dan juga lihat Budi
Hardiman, Filsafat Modern......., h. 214
[13] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika. (2003.
Bogor: Kencana), h. 136.
tambahan, maaf melenceng. bisa di subscribe, like, comment, dan share ya...!!
tambahan, maaf melenceng. bisa di subscribe, like, comment, dan share ya...!!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.