MAKALAH
AKAD
MATA
KULIAH: FIQH MUAMALAH
DOSEN:A.
Hazas Syarif
Disusun
Oleh:
Kelompok
1
1.
Tessa
Miltasari 1651010443
2.
Melda
Septera 1651010465
3.
Dian
Latifa Hanim 1651010258
KELAS
F
JURUSAN
EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah swt, atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penyusunan tugas Fiqh Muamalah tentang akad dalam peersprktif islam.
Tugas mata
kuliah Fiqh Muamalah tentang Akad dalam karya ilmiah ini kami buat agar dapat
memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Fiqh Muamalah pada semester 3.
Tujuan lain penyusunan tugas ini adalah agar pembaca dapat memahami dan
mengetahui tentang akad dalam ilmu Fiqh Muamalah dalam karya ilmiah sebagaimana
yang tertulis dalam makalah ini.
Materi ini kami sajikan dengan
bahasa yang sederhana dan menggunakan bahasa pada umumnya agar dapat dipahami
oleh pembaca.Kami menyadari bahwa makalah ini mungkin terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata kami mengucapkan
terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Bandar Lampung, 10 Oktober 2017
Penyusun
Kelompok 1
DAFTAR
ISI
Judul ................................................................................................................................. I
Kata
Pengantar ................................................................................................................ II
Daftar
Isi
.......................................................................................................................... II
BAB
I Pendahuluan
A. Latar
Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah
....................................................................................... 1
C. Tujuan
Masalah .......................................................................................... 2
BAB II Pembahasan
1.
Pengertian Akad
......................................................................................... 3
2.
Rukun Akad ............................................................................................... 4
3.
Syarat Akad
............................................................................................... 6
4.
Penghalang Akad ...................................................................................... 8
5.
Pembagian Akad
....................................................................................... 9
6.
Macam-macam Akad
................................................................................ 12
7.
Hikmah Akad
............................................................................................ 16
8.
Dasar Hukum Akad
................................................................................... 17
9.
Berakhirnya Akad ..................................................................................... 17
BAB III Penutup
Kesimpulan ..................................................................................................... 18
Daftar Pustaka
................................................................................................... 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa
hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi
ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.
Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan,
harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan
keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
Hubungan ini merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah karena itu
merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam
memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak
yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik
dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk
membahas mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan
muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian akad?
2. Bagaimana
rukun akad?
3. Bagaimana
syarat akad?
4. Apa
saja penghalang akad?
5. Bagaimana
pembagian dalam akad?
6. Apa
saja macam-macam akad?
7. Apa
saja hikmah dalam akad?
8. Apa
saja dasar hukum dari akad?
9. Apa
saja yang menyebabkan berakhirnya akad?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
dapat mengetahui pengertian dari akad.
2. Untuk
dapat mengetahui rukun akad.
3. Untuk
dapat mengetahui syarat dari akad.
4. Untuk
dapat mengetahui penghalang dalam akad.
5. Untuk
dapat mengetahui pembagian dalam akad.
6. Untuk
dapat mengetahui macam-macam akad.
7. Untuk
dapat mengetahui hikmah dari akad.
8. Untuk
dapat mengetahui dasar hukum dari akad.
9. Untuk
dapat mengetahui penyebab berakhirnya akad.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Akad
Perikatan atau perjanjian, ataupun
transaksi-transaksi lainya dalam konteks fiqih muamalah dapat disebut dengan
akad. Kata akad berasal dari bahasa arab al-‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud
yang mempunyai arti perjanjian, persetujuan kedua belah pihak atau lebih dan
perikatan.
Adapun secara terminology ulama fiqh
melihat akad dari dua sisi yakni secara umum dan secara khusus.
1. Secara umum
Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari
segi bahasa menurut pendapat ulama SAyafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu
:
كُلُّ مَا عَزَمَ المَرْءُ
عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَ بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ
وَاْلإِبْرَاءِ وَالطَّلاَقِ واليَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي
إِنْشَائِهِ كَلْبَيْعِ وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan,
dan gadai.” [1][1]
Selain itu ada juga yang mengatakan
bahwa akad adalah “Setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakanya, baik
keinginan tersebut berasal dari kehendaknya sendiri, misalnya daam hal wakaf,
atau kehendak tersebut timbul dari dua orang misalnya dalam hal jual beli atau
ijaroh.”[2][2]
Sehingga secara umum akad adalah
segala yang diinginkan dan dilakukan oleh kehendak sendiri, atau kehendak dua
orang atau lebih yang mengakibatkan berubahnya status hukum objek akad (maqud
alaih).
2. Pengertian
akad secara khusus
Pengertian akad dalam arti khusus
yang dikemukakan oleh ulama fiqh adalah
إِرْتَبَاطُ إِيْجَابٍ
بِقَبُوْلٍ عَلىَ وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِى مَحَلِهِ.
Artinya: “Perikatan yang
ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada
objeknya.”[3][3]
Selain itu juga ada Definisi
lain tentang akad yaitu “Suatu perikatan Antara ijab dan Kabul dengan cara
yang dibenarkan syarak dengan menetapkan akibat-akibat hukum pada objeknya.”
Melihat dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah
ijab dan qobul yang melahirkan akibat hukum baru. Dengan demikian ijab dan
qobul adalah sutu bentuk kerelaan untuk melakukan akad tersebut. Ijab qobul
adalah tindakan hukum yang dilakukan kedua belah pihak, yang dapat dikatakan
sah apabila sudah sesuai dengan syara’. Oleh karena itu dalam islam tidak semua
ikatan perjanjian atau kesepakatan dapat dikategorikan sebagai akad, terlebih
utama akad yang tidak berdasarkan kepada keridloan dan syariat islam. Sementara
itu dilihat dari tujuanya, akad bertujuan untuk mencapai kesepakatan untuk
melahirkan akibat hukum baru.
Sehingga akad dikatakan sah apabila
memenuhi semua syarat dan rukunya. Yang akibatnya transaksi dan objek transaksi
yang dilakukan menjadi halal hukumnya.
2.
Rukun Akad
Rukun-Rukun
Akad sebagai berikut:
1. ‘Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masing-masing
pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang.
Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu
orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang
terdiri dari beberapa orang.
2. Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek
akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah
atau pemberian, gadai, dan utang.
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
a) Obyek transaksi harus ada ketika akad atau
kontrak sedang dilakukan.
b) Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim
(harta yang diperbolehkan syara’
untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
c) Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya
akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
d) Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
e) Obyek transaksi harus suci, tidak terkena
najis dan bukan barang najis.
3. Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad.
Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya,
tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan di
beri ganti.
4. Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang
pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad,
sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab
kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain
sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan
atau ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad,
misalnya yang berlangganan majalah, pembeli mengirim uang melalui pos wesel dan
pembeli menerima majalah tersebut dari kantor pos.[4][4]
Dalam ijab
kabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya
sebagai berikut:
a.
Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b.
Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul
c. Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak
menunjukan penolakan dan pembatalan dari keduanya.
d. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena di ancam atau ditakut-takuti oleh
orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.
Ijab kabul
akan dinyatakan batal apabila :
a. Penjual
menarik kembali ucapannya sebelum terdapat kabul dari si pembeli.
b.
Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad.
Ijab dan kabul dianggap batal.
d. Kedua
pihak atau salah satu, hilang kesepakatannya sebelum terjadi kesepakatan.
e. Rusaknya
objek transaksi sebelum terjadinya kabul atau kesepakatan.
Mengucapkan
dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad,
tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para
ulama fiqh menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad,[5][5] yaitu
1) Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua ‘aqid
berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah
para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan ucapan”.
2) Isyarat. Bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan
dengan ucapan atau tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan
ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu
mengadakan ijab kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai
tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan
demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah
sebagai berikut: “Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah”.
3.
Syarat Akad
Beberapa syarat tersebut meliputi:
1. Syarat terbentuknya
akad, dalam hukum Islam syarat ini dikenal dengan nama Al-syuruth Al-in’iqad.
Syarat ini terkait dengan sesuatu yang harus dipenuhi oleh rukun-rukun
akad,ialah:
a. Pihak yang berakad(aqidain) disyaratkan tamyiz.
b. Shighat akad (pertanyaan kehendak) adanya kesesuaian ijab dan kabul
(munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majlis akad.
c. Objek akad, dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat ditransaksikan
(benda yang bernilai dan dimiliki)
d. Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara
2. Syarat keabsahan akad,
adalah syarat tambahan yang dapat mengabsahkan akad setelah syarat in’iqad
tersebut dipenuhi. Antar lain:
a. Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Maka jka pertanyaan
kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa,maka akad dianggap batal
b. Penyerahan objek tidak menimbulkan madlarat
c. Bebas dari gharar, yaitu tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh para pihak
yang berakad
d. Bebas dari riba
3. Syarat-syarat
berlakunya akibat hukum(al-syuruth an-nafadz) adalah syarat yang diperlukan
bagi akad agar akad tersebut dapat dilaksanakan akibat hukumnya. Syarat-syarat
tersebut adalah :
a. Adanya kewenangan sempurna atas objek akad, kewenangan ini terpenuhi jika
para pihak memiliki kewenangan sempurna atas objek akad,atau para pihak
merupakan wakil dari pemilik objek yang mendapatkan kuasa dari pemiliknya atau
pada objek tersebut tidak tersangkut hak orang lain.
b. Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, persyaratan ini
terpenuhi dengan para pihak yang melakukan akad adalah mereka yang dipandang
mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan.
c. Syarat mengikat (al-syarth al-luzum) sebuah akad yang sudah memenuhi
rukun-rukunnya dan beberapa macam syarat sebagaimana yang dijelaskan
diatas,belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat pihak-pihak yang telah
melakukan akad. Ada persayaratan lagi yang menjadikannya mengikat diantaranya:
1) Terbebas dari sifat
akad yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak,seperti akad
kafalah (penanggungan). Akad ini menurut sifatnya merupakan akad tidak mengikat
sebelah pihak,yaitu tidak mengikat sebelah pihak,yaitu tidakmengikat kreditor
(pemberi hutang) yang kepadanya penanggungan diberikan. Kreditor dapat secara
sepihak membatalkan akad penanggungan,dan membebaskan penanggung dari
konsekuensinya. Bagi penanggung (al-kafil) akad tersebut mengikat sehinggan ia
tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan kreditor.
2) Terbebas dari
khiyar,akad yang masih tergantung dengan hak khiyar baru mengikat ketika hak
khiyar berakhir. Selama hak khiyar belum berakhir,akad tersebut mengikat.[6][6]
4. Mani’ Nufudz (Penghalang Akad)
Mani’ nufudz banyak macamnya. Namun demikian dapat
kita kembalikan kepada dua macam saja, yaitu ikrah (paksaan) dan haqqul ghair
(hak orang lain).
Ikrah, adalah cacat yang terjadi pada keridlaan
(kehendak) yang paling penting dalam fiqh Islam. Para fuqaha mengadakan
pembahasan tersendiri tentang ikrah ini. Mengenai haqqul ghair ini perlu
dijelaskan sedikit. Haqqul ghair mempunyai tiga keadaan :
1.
Haqqul ghair, akad yang berpautan dengan benda. Seperti menjual milik orang
lain, tindakan orang sakit menjelang maut, dan seperti tasharruf orang murtad
menurut jumhur atau menurut Abu Hanifah.
2.
Berpautan dengan maliyah, benda obyek akad; bukan dengan benda (‘ain)nya,
hanya dengan maliyahnya, dengan hartanya, seperti tasharruf si madin yang tidak
majhur secara yang menimbulkan kerugian pihak dain, lantaran hak-hak si dain
itu berpautan dengan maliyah benda itu, bukan dengan zatnya benda itu.
Uang si dain bukan
bersangkut dengan rumah si madin, tetapi bersangkut dengan harta si madin. Maka
jika si madin dapat membawakan harta-harta yang lain untuk bayar hutang, sahlah
tabarru’nya itu. Ini perbedaan perpautan hak dengan ‘ain, dengan perpautan hak
dengan maliyah ‘ain. Kalau berpautan dengan hak si dain berpautan dengan
maliyah si madin, maka kalau simadin itu bisa membayar walaupun dengan bukan
yang itu, niscaya si madin dapat bertasharruf dengan hartanya itu.
3.
Berpautan dengan dapat tidaknya tasharruf itu sendiri, bukan dengan benda,
yang dikatakan dalam istilah fiqh shalahiatul tasharruf; (boleh bertasharruf),
seperti tasharruf si majhur alaih, baik karena masih kecil, maupun karena safih
(boros), atau lantaran hutang. Apabila wali atau washi setuju, maka persetujuan
ini berlaku surut. Ini penting kita perhatikan.[7][7]
5. Pembagian Akad
Pembagian akad dibedakan menjadi
beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1.
Berdasarkan ketentuan syara’
1. Akad shahih
akad shahih
adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dalam
istilah ulama Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara’
pada asalnya dan sifatnya.
2) Akad tidak shahih
adalah akad
yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur
ulama selain Hanafiyah menetapkan akad bathil dan fasid termasuk kedalam jenis
akad tidak shahih, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan
batal.
Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi
memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan
oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan
lain-lain. Adapun akad fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan
rukun, tetapi dilarang syara’ seperti menjual barang yang tidak diketahui
sehingga dapat menimbulkan percekcokan.
2. Berdasarkan ada
dan tidak adanya qismah:
1) akad musamah, yaitu akad yang telah
ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan
ijarah.
2) Ghair musamah yaitu akad yang belum
ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukumnya.
3. Berdasarkan zat benda yang diakadkan :
1. benda yang berwujud
2. benda tidak berwujud.
4.
Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya :
1) Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan
langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan
pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak
pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
2) Akad mu’alaq adalah akad yand didalam
pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya
penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3) Akad mu’alaq ialah akad yang didalam
pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad,
pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat
hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan.
5.
Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad :
1)
Akad musyara’ah ialah akad-akad yang debenarkan syara’ seperti gadai dan
jual beli.
2)
Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak
kambing dalam perut ibunya.
6. Berdasarkan sifat
benda yang menjadi objek dalam akad :
1)
akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti
jual beli.
2)
Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan
barang-barangg karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah.
7. Berdasarkan cara
melakukannya:
1)
Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad
pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
2) Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan
tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti
akad-akad pada umumnya.
8. Berdasarkan
berlaku atau tidaknya akad :
1)
Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas
dari penghalang-penghalang akad
2)
Akad mauqufah, yaitu akad –akad yang bertalian
dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah
disetujui pemilik harta)
9.
Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan :
1)
Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan
seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa
dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan
dengan cara yang dibenarkan syara’
2)
Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat
dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
3)
Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan
salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang
yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang
yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa
harus menunggu persetujuan darinya.
10. Berdasarkan tukar menukar hak :
1) Akad mu’awadhah, yaitu akad yang berlaku
atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
2) Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang
berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah.
3) Akad yang tabaru’at pada awalnya namun
menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah
11. Berdasarkan harus ganti tidaknya :
1)
Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab
pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
2)
Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan
oleh yang memegang benda, seperti titipan.
3)
Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman
dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
12. Berdasarkan tujuan akad :
1) tamlik: seperti jual beli
2) mengadakan usaha bersama seperti syirkah
dan mudharabah
3) tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah
4) menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
5) mengadakan pemeliharaan seperti ida’ atau titipan
13. Berdasarkan faur dan istimrar
1) Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang tidak
memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual
beli.
2) Akad istimrar atau zamaniyah, yaitu hukum
akad terus berjalan, seperti I’arah
14. Berdasarkan asliyah dan tabi’iyah :
1) akad asliyah yaitu akad yang berdiri
sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I’arah.
2) Akad tahi’iyah, yaitu akad yang
membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa
adanya hutang. [8][8]
6. Macam-macam
Akad
Akad banyak macamnya dan berlain-lainan namanya serta hukumnya, lantaran
berlainan obyeknya. Masyarakat, atau agama sendiri telah memberikan nama-nama
itu untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Istilah-istilah ini tidak
diberikan oleh para ulama, namun ditentukan agama sendiri. Karenanya terbagilah
akad kepada :
1.
‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namanya oleh syara’ dan
ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu.
2.
‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan namanya
secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh syara’
sendiri.
‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam. Nama-nama
ini semuanya kita ketemukan satu persatu sesudah kita mempelajari bagian
muamalah maliyah dalam ilmu fiqh.
1)
Bai’
عَقْدٌ يَقَوْمُ عَلَى اَسَاسِ مُبَادَلَةِ المَالِ لُيفِيْدَ تَبَادُلَ
المِلْكِيّاتِ عَلَى الدّوَامَ
“Akad yang berdiri atas
dasar penukaran harta dengan harta lalu terjadilah penukaran milik secara
tetap”
Akad ini adalah pokok
pangkal dari uqud mu’awadlah, hukum-hukumnya merupakan naqis ‘alaihi, dalam
kebanyakan hukum akad. Karena itulah kalau kita membaca kitab-kitab fiqh, maka
yang mula-mula kita ketemukan dalam bab muamalah, ialah: Babul ba’i (Kitabul
Ba’i). Bab ini merupakan titil tolak untuk membahas segala masalah muawadlah
maliyah.
2)
Ijarah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ المُبَادَلَةُ عَلَى مَنْفَعَةِ الشّيْءِ بِمُدّةٍ
مَحْدُوْدَةٍ أَىْ تَمْلِيْكُهَا بِعِوَضٍ فَهِيَ بَيْعُ المُنَافِعِ
“Akad yang obyeknya, ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu artinya:
memilikkan manfaat dengan iwadl, sama dengan menjual manfaat”.
3) Kafalah
ضَمُّ ذِمَّةٍ إِلى ذِمَّةٍ فِى المُطَالَبَةِ
“Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan”.
Atau dalam ibarat yang
lain dikatakan:
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ الْتِزَامَ شَخْصٍ بِحَقِّ وَاجِبٍ عَلَى غَيْرِهِ
وَاشْرَاكِ نَفْسِهِ مَعَهُ فِى المَسْؤُلِيَّةِ بِهِ تُجَاهَ الطَّالِبِ
“Akad yang mengandung perjanjian dari seseorang, bahwa
padanya ada hak yang wajib dipenuhi untuk selainnya dan menserikatkan dirinya
bersama orang lain itu dalam tanggung jawab terhadap hak itu dalam menghadapi
seseorang penagih”.
Multazim, dalam hal ini
dinamakan kafiil. Multazim asli dinamakan makful atau makful ‘anhu. Multazim
bihi, yaitu benda, dinamakan makful bihi.
4)
Hawalah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ نَقْلُ المَسْئُولِيَّةِ مِنَ الدَّائِنِ الأَصْلِيِّ
إِلَى غَيْرِهِ
“Suatu akad yang
obyeknya memindahkan tanggung jawab dari yang mula-mula berhutang kepada pihak
lain”.
Madin dinamakan muhil,
da’in dinamakan muhal, orang yang ketiga dinamakan muhal ‘alaih, hutang itu
sendiri dinamakan muhal bihi.
5)
Rahn
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اِحْتِبَاسُ مَالٍ
لِقَاءَحَقٍّ يُمْكِنُ اسْتِيْفَاؤُهُ مِنْهُ
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh pembayaran dengan sempurna”.
Maka orang yang memegang rahn (mahrum) dinamakan murtahin. Orang yang
memberi rahn, atau menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin. Barang yang
dinamakan barang gadaian itu dinamakan marhun bihi.
6)
Bai’ul Wafa’
عَقْدٌتَوْفِيْقِيٌّ فِي صُوْرَةِ بَيْعٍ عَلَى أَسَاسِ احْتِفَاظِ الطَّرَفَيْنِ بِحَقِّ التَّرَادِّ
فِى العِوَ ضَيْنِ
“Akad taufiqi dalam rupa jual beli atas dasar masing-masing pihak mempunyai
hak menarik kembali pada kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda)”.
Aqad bai’ul wafa’ ini merupakan akad yang bercampur antara bai’dan iarah.
Padanya ada unsur-unsur bai’ dan juga padanya ada juga unsure iarah, sedang
hukum rahn lebih mempengaruhi akad itu. Akad ini mengandung arti jual beli;
karena musytari dengan selesainya akad, memiliki segala manfaat yang dibeli
itu. Dapat dipakai sendiri benda yang dibeli itu, dapat disewakan. Berbeda
dengan rahn. Rahn tidak boleh ditasharrufkan oleh si murtahin dengan sesuatu
tasharruf. Dan bai’ul wafa’ ini pula mengandung makna rahn, karena si musytari
tidak boleh membinasakan barang itu, tidak boleh memindahkan barang itu kepada
orang lain. Maka di suatu segi, kita katakan itu bai’, karena si musytari boleh
mengambil manfaat barang itu, boleh bertasharruf dengan sempurna, dari segi
yang lain kita katakana rahn; karena si musytari tidak boleh menjual barang itu
kepada orang lain.
Kemudian si musytari dalam bai’ul wafa’ ini harus mengembalikan barang
kepada si penjual, si penjual mengembalikan harga. Inilah yang dimaksudkan
dengan bai’ul wafa’. Dan si musytari dapaat mendesak si penjual mengembalikan
harga.
7)
Al’ida
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اسْتِعَانَةُ الإِنْسَانِ
بِغَيْرِهِ فِى حِفْظِ مَالِهِ
“Sebuah akad yang obyeknya meminta pertolongan kepada seseorang dalam
memelihara harga si penitip itu”.
Si pemilik harga dinamakan mudi’; orang yang dipercaya untuk dititipkan
barang dinamakan wadi’, benda yang dititipkan itu dinamakan wadi’ah. Harta
wadi’ah yang diletakkan dibawah penjagaan si wadi’ dipandang amanah dan si
wadi’ dipandang ‘amiin.
Terkadang lafad wadi’ah dipakai untuk akad sendiri. Artinya amanah
dalam istilah fuqoha, ialah si wadi’ tidak bertanggung jawab terhadap
bencana-bencana yang tak disingkirkan, seperti bencana alam; dan si ‘amiin itu
diharuskan bertanggung jawab apabila kerusakan terjadi lantaran kesalahannya.
Akad Ida’ merupakan pokok dari segi akad amanah; karena akad inilah yang
dilakukan untuk mempercayakan harga kepada seseorang.
8)
Al I’arah
عَقْدٌ يَرِدُعَلَى التَّبَرُّعِ بِمَنَافِعِ
الشَّىْءِلِاسْتِعْمَالِهِ وَرَدِّهِ
“Akad yang dilakukan atas dasar pendermaan terhadap manfaat sesuatu untuk
dipakai dan kemudian dikembalikan”.
Dalam akad terdapat tamlik manfaat tanpa iwadl. Orang empunya barang
dinamakan mu’ir, orang yang meminjam dinamakan musta’ir, barang yang dipinjamkan
namanya ‘ariyah.
I’arah kebalikan ijarah. Ijarah, memiliki manfaat iwadl, atau menjual
manfaat, sedang I’arah memberikan manfaat tanpa bayaran. Karenanya dalam ijarah
wajib ditentukan batas waktu mengambil manfaat, umpamanya sebulan lamanya.
9)
Hibah
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ تَمْلِيْكُ الإِنْسَانِ
مَالَهُ لِغَيْرِهِ مَجًّانًا بِلَاعِوَضٍ
“Akad yang obyeknya ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara
cuma-cuma tanpa adanya bayaran”.
Orang yang memberikan hibah dinamakan wahib, yang menerimanya dinamakan
mauhub lahu, harta yang diberikan itu dinamakan mauhub.
10) Aqdul Qismati
إِفْرُازُالْحِصَصِ الشَّائِعَةِ فِىْ الْمِلْكِ
وَتحْصِيْصُ كُلِّ مِنْهَا بِجُزْءٍمُعَيَّنٍ
“Mengasingkan (menentukan) bagian-bagian yang berkembang (yang dimiliki
bersama) dalam harta milik dan menentukan bagi masing-masing pemilik dari
bagian itu, bagian tertentu”.
Pelaksanaan qismah terdiri dari dua unsur :
a. Unsur ifraz, mengasingkan atau memisahkan dari
yang lain.
b.
Unsur jual beli dan tukar
menukar.
Hal ini berlaku dalam suatu yang dimiliki secara
musyarakah (secara bersama), yang terdapat hak bersama pada tiap-tiap bagian
dari benda itu. Dan qismah ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak,
dan kadang-kadang dilakukan atas putusan hakim berdasarkan permintaan kongsi.[9][9]
7. Hikmah Akad
1.
Adanya
ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau
memiliki sesuatu.
2.
Tidak dapat
sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur
secara syar’i.
3.
Akad
merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain
tidak dapat menggugat atau memilikinya.
8. Dasar Hukum Akad
Adapun dasar
hukum dilakukannya akad berdasarkan Al-quran adalah surat Al-Maidah ayat 1 yang
berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ ……… ١
Berdasarkan
ayat diatas dapat disimpulkan bahwa memenuhi akad yang pernah
dilakukan
atau disepakati adalah wajib hukumnya.
9.
Berakhirnya Akad
1.
Berakhirnya
masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2.
Dibatalkan
oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.
Dalam akad
yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a)
Jual beli
itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya
tidak terpenuhi.
b)
Berlakunya
khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c)
Akad itu
tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
d)
Tercapainya
tujuan akad itu sampai sempurna.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akad
adalah kesepakatan
antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah ijab dan qobul yang melahirkan
akibat hukum baru. Akad memiliki rukun dan syarat yaitu: ‘Aqid, Ma’qud ‘alaih, Maudhu’
al-‘aqd, dan Shighat al-‘aqd. sedangkan syarat akad meliputi :syarat
terbentuknya akad, syarat keabsahan akad, dan syarat-syarat berlakunya hukum
akibat.
Pada dasarnya akad memiliki
penghalang yang scara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu: ikrah (melalui
paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain). Akad dibagi menjadi beberapa bagian
diantaranya: Berdasarkan ketentuan syara’, Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah, Berdasarkan zat benda yang diakadkan, Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya, Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya
akad, Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam
akad, Berdasarkan cara melakukannya, Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad, Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan, Berdasarkan tukar menukar hak, Berdasarkan harus ganti tidaknya, Berdasarkan tujuan akad, Berdasarkan
faur dan istimrar, dan Berdasarkan
asliyah dan tabi’iyah.
Secara garis besar
macam-macam akad yaitu: ‘Uqudun musammatun dan ‘Uqudun
ghairu musammah. Hikmah dari mempelajari dan mempraktekkan akad dalam kehidupan
sehari-hari yaitu: Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di
dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu, Tidak dapat sembarangan dalam
membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i, Akad
merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain
tidak dapat menggugat atau memilikinya.
Dasar dari hukum
melakukan akad yaitu wajib hal ini terdapat dalam Al-qur’an surah Al-Maidah
ayat 1. Berakhirnya suatu akad dapat dikarenakakan beberapa hal diantaranya
ialah: Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang
waktu, Dibatalkan
oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat, Salah
satu pihak yang berakad meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Rafmad Syafe’i. Fiqih
Muamalah. Pustaka Setia Bandung.2001
Prof. Dr. H. rachmat
Syafei, MA.Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustak Setia, 2001).
http://www.academia.edu/25949554/Makalah_Fiqih_Muamalah_1_Teori_Akad_dalam_Perspektif_Fiqh_Muamalah, pada tanggal 08 oktober 2017 pukul 22:17 wib.
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Kencana:2010).
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Jogjakarta: Logung Puataka, 2009.
http://juminardi-ardi.blogspot.co.id/2012/09/akad-kedudukan-dan-fungsi-akad.html, pada tanggal 08 oktober 2017 pada pukul 20:45 wib.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah; ed. Revisi,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010).
QS. Al-Maidah (5):1
[3][3] Academia, Makalah Fiqh Muamalah 1 Teori Akad dalam
Perspektif Fiqh Muamalah, diakses di http://www.academia.edu/25949554/Makalah_Fiqih_Muamalah_1_Teori_Akad_dalam_Perspektif_Fiqh_Muamalah,
pada tanggal 08 oktober 2017 pukul 22:17 wib.
[4][4]
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh
Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Kencana:2010), hlm.51.
[8][8] Jumiardi ardi,Akad Kedudukan dan
Fungsi Akad, dikses di,http://juminardi-ardi.blogspot.co.id/2012/09/akad-kedudukan-dan-fungsi-akad.html, pada tanggal 08 oktober 2017 pada
pukul 20:45 wib.
[9][9] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah;
ed. Revisi, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm.82.
[12][12] Abdul Rahman Ghazaly,
et.al, op.cit., hlm. 58-59.
bonus video bisa disubscribe, like, comment, dan share ya....!
bonus video bisa disubscribe, like, comment, dan share ya....!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.