MAKALAH KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN
Nama kelompok 2 : 1. Gita Saputri 1651010434
2. M Deswan Seperly 1651010462
3.
Tessa Miltasari 1651010443
Kelas / Smt / Prodi : F / 5 / Ekonomi Islam
Mata kuliah : Perekonomian Indonesia
Dosen Pengampu : Muhammad Kurniawan,S.E.,M.E.Sy.
PRODI EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Berkat limpahan rahmat dan karunia nikmatNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kemiskinan dan Kesenjangan Pendapatan” dengan lancar. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Perekonomian Indonesia yang
diampu oleh bapak Muhammad Kurniawan,S.E.,M.E.Sy.
Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya dalam menyelesaikan makalah ini.
Meski demikian, kami menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca. Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk masyarakat umumnya, dan untuk kami sendiri khususnya.
Bandar Lampung, 05
November 2018
Kelompok
2
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................................... I
KATA PENGANTAR.................................................................................................... II
DAFTAR ISI................................................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan penulisan...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1.
Definisi Kemiskinan............................................................................................... 2
2.
Faktor-Faktor Penentu
Ketimpangan Dan Kemiskinan Di Indonesi....................... 6
3.
Indikator Dan Ukuran
Ketimpangan Serta Kemiskinan........................................ 11
4. Potret
Kemiskinan Indonesia Pada Tahun 1998-2014 .......................................... 16
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Negara
Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, atau yang biasa dikenal sebagai
Negara yang sebagian besar penduduknya bergerak dalam bidang pertanian. Dalam
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pemerintah Indonesia agar memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam kenyataannya
pemerintah tidak mempunyai kepekaan yang serius terhadap kaum miskin.
Kemiskinan
merupakan problematika kemanusiaan yang mendunia dan hingga kini masih menjadi
isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat laten dan aktual,
kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh
negara-negara berkembang melainkan juga negara maju seperti Inggris dan Amerika
Serikat.
Jika
kita lihat dari dampak yang ditimbulkan oleh korupsi ini, hampir semua
lapisan masyarakat merasakannya. Bagi kalangan pengusaha korupsi menyebabkan
persaingan yang tidak kompetitif antar pengusaha karena semua proses harus
melalui uang pelicin dan memerlukan waktu yang lama. Bagi masyarakat
bawah korupsi justru menimbulkan biaya hidup yang lebih tinggi, harga-harga
menjadi mahal akhirnya muncul banyak pengemis. Pengangguran, pemerasan,
hingga pembunuhan yang sumber utamanya adalah uang, hanya dengan satu alasan
untuk hidup dan munculnya Undang-Undang Korupsi dan Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi bisa dijalankan dengan baik. Namun pada kenyataannya
kinerja KPK ini belum memuaskan hati publik, karena banyak kasus korupsi yang
penanganannya belum tuntas. Diantaranya kasus korupsi pajak dan kasus yang
dialami dari beberapa anggota Partai Demokrat belakangan ini.
Pada
hal ini penyusun mencoba memaparkan kemiskinan di Negara Indonesia. Kemiskinan
merupakan hal yang kompleks kerana menyangkut berbagai macam aspek seperti hak
untuk terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya.
Agar kemiskinan di Indonesia dapat menurun diperlukan dukungan dan kerja sama
dari pihak masyarakat dan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini.
Kemiskinan
merupakan masalah multidimensi dan lintas sektor yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan,
pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan
kondisi lingkungan.
Bila
kita melihat sebenarnya kesejahteraan itu milik pemerintah, atau para pegawai
negeri. Dan orang – orang yang bergerak dalam organisasi pemerintah
tingkat atas. Dan sebagian besar juga bagi para pengusaha – pengusaha yang
ruang lingkupnya besar. Golongan orang-orang kelas atas inilah yang akan selalu
menjadi penguasa, dan monopoli terhadap golongan kelas menengah ke bawah.
B.
Rumusan Masalah
- Jelaskan
mengenai pengertian dari kemiskinan!
- Jelaskan
mengenai faktor-faktor penentu dari ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia!
- Jelaskan
mengenai indikator dan ukuran ketimpangan dan kemiskinan!
- Jelaskan
mengenai potretKemiskinan
Indonesia pada tahun 1998-2014!
C. Tujuan
Masalah
1.
Untuk dapat menjelaskan
mengenai pengertian dari kemiskinan.
2.
Untuk dapat menjelaskan
mengenai faktor-faktor penentu dari ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia.
3.
Untuk dapat menjelaskan
mengenai indikator dan ukuran ketimpangan dan kemiskinan.
4.
Untuk dapat menjelaskan
mengenai potret Kemiskinan
Indonesia pada tahun 1998-2014.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Kemiskinan
Istilah
kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi
tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar
hidup tertentu. Dalam arti sempit,
kemiskinan (proper) dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk
menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani
Suryawati, 2005), mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu konsep terpadu
(intergrated concept) yang memiliki 5 dimensi, yaitu :
a. Kemiskinan (proper)
b. Ketidakberdayaan
(powerless)
c. Kerentanan
menghadapi situasi darurat (state of emergency)
d. Ketergantungan
(dependence)
e. Keterasingan
(isolation)
Menurut
Mudrajat Kuncoro (2003:123), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan
untuk memenuhi standar hidup minimum, di mana pengukuran kemiskinan tidak
didasarkan pada konsumsi. Berdasarkan konsumsi ini, garis kemiskinan terdiri
dari dua unsur yaitu (1) pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi
minimum dan kebutuhan mendasar lainnya, dan (2) jumlah kebutuhan lain yang
sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Ewnowski
menggunakan indikator-indikator sosial untuk mengukur tingkat indeks kehidupan
(the level of living index). menurutnya
terdapat tiga tingkatan kebutuhan untuk menentukan tingkat kehidupan seseorang
:
(a). Kehidupan fisik
dasar (basic fisical needs), yang meliputi gizi/nutrisi, perlindungan/perumahan
(shelter/housing), dan kesehatan.
(b). Kebutuhan budaya
dasar (basic cultural needs), yang meliputi pendidikan, penggunaan waktu luang
dan rekreasi, serta jaminan sosial (social security).
(c). High income, yang
meliputi surplus pendapatan atau melebihi takarannya. Menurut Amartya Sen
(Bloom dan Canning: 2001) seseorang dapat dikatakan miskin bila mengalami
"capability deprivation" sehingga mengalami kekurangan kebebasan yang
substansif. menurut Amartya Sen, kebebasan substance memiliki dua sisi
kesempatan dan rasa aman/keamanan. Kesempatan membutuhkan pendidikan dan rasa
aman atau keamanan membutuhkan kesehatan.
Menurut
Bachtiar Chamsyah (2006:45), Kemiskinan merupakan keadaan ketertutupan, yaitu
tertutup dari segala bentuk pemenuhan kebutuhan diri yang bersifat fisik atau
non fisik. Menurut Suparlan, kemiskinan adalah keadaan serba kekurangan harta
benda dan benda berharga yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang yang
hidup dalam lingkungan serba miskin atau serba kekurangan modal, uang,
pengetahuan, kekuatan sosial, fisik, hukum, maupun akses ke fasilitas pelayanan
umum, kesempatan kerja, dan berusaha. (Suparlan, 2000).
Menurut
Friedman kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan
kekuasaan sosial berupa aset, sumber keuangan, organisasi sosial politik,
jaringan sosial, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan, serta
informasi.
Badan
Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan dengan menetapkan beberapa kriteria
kemiskinan yang mengacu pada besarnya pengeluaran tiap orang per harinya.
Kriteria statistik dari BPS adalah sebagai berikut :
(a) Tidak miskin, yaitu
mereka yang pengeluaran perbulan nya lebih dari Rp. 350.610.
(b) Hampir tidak
miskin, yaitu orang dengan pengeluaran perbulan pada kepala antara Rp 280.488
sampai dengan Rp 350.610, atau sekitar antara Rp 9.350 sampai dengan Rp 11.687
per orang dalam 1 hari.
(c) Hampir miskin, ya
itu orang dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 233.740 sampai
dengan Rp 280.488 atau sekitar antara Rp 7.780 sampai dengan Rp Rp9.350 per
orrang dalam 1 hari.
(d) Miskin, dengan
pengeluaran per orang per bulan per kepala Rp. 233.740 ke bawah atau sekitar Rp
7.780 ke bawah per orang dalam satu hari.
(e) Sangat miskin
(kronis), tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang dalam 1 hari. Tidak
diketahui Berapa jumlah pastinya.
Uni
Eropa umumnya mendefinisikan Penduduk miskin sebagai mereka yang mempunyai
pendapatan perkapita di bawah 50% dari median (rata-rata) pendapatan. ketika median/rata-rata pendapatan meningkat,
garis kemiskinan relatif juga meningkat.
Dua
ukuran kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia adalah :
1)
US$ 1 per kapita per
hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup di
bawah ukuran tersebut.
2)
US$ 2 per kapita per
hari di mana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas
tersebut. US Dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity),
bukan nilai tukar resmi (exchange rate) kedua batas ini adalah garis kemiskinan
absolut.
Berdasarkan
pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan
keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun
sulitnya akses ke pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah
global, di mana sebagian orang memahami istilah ini secara subjektif dan
komparatif, sementara yang lain melihatnya dari segi moral dan evaluatif, serta
sebagian lainnya memahami dari sudut pandang ilmiah yang telah mapan.
2.
Faktor-faktor
Penentu Ketimpangan dan Kemiskinan di Indonesia.
Disparitas
atau lebih dikenal dengan kesenjangan, khususnya kesenjangan ekonomi, merupakan
fenomena yang terjadi dalam perekonomian nasional di mana terdapat perbedaan
atau jurang pemisah di antara setiap anggota masyarakat dalam kegiatan ekonomi,
termasuk perbedaan antara kegiatan ekonomi di suatu daerah dan daerah lainnya.
Fenomena
disparitas ini merupakan fenomena dunia, karena terjadi pada semua negara, baik
negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Jadi, sudah wajar apabila
pada suatu negara terdapat beberapa wilayah terbelakang dibandingkan dengan
wilayah lainnya, dan hal ini juga berlaku bagi Indonesia. Walaupun fenomena
disparitas terjadi di seluruh dunia, umumnya kesenjangan antar kelompok
masyarakat, ataupun daerah, lebih tajam terjadi di negara-negara sedang
berkembang karena kelakuan sosial ekonomi (social economic rigidities) dan
immobility factor (faktor imobilitas).
Studi
tentang disparitas antar daerah di antara negara berkembang pada beberapa tahun
terakhir sudah banyak dilakukan baik melalui pendekatan pertumbuhan seimbang
(balanched-growth) maupun pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth).
Berikut adalah
faktor-faktor penentu ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia :
(a). Tingkat Pendidikan
yang Ditamatkan Penduduk (EDU)
Hasil
penelitian Cameron (2000:175-176) tentang kemiskinan di Jawa menyimpulkan bahwa
pengurangan kemiskinan diasosiasikan dengan meningkatnya pencapaian pendidikan
dan peningkatan pendapatan dan tenaga kerja terdidik. Hasil penelitian Suherman
(2001:47-64) juga menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh
besarnya persentase angka melek huruf.
(b). Pendapatan Per
Kapita Penduduk (PC)
Hasil
penelitian Iradian (2005:1-39) yang dilakukan pada 82 negara untuk tahun
1965-2003 menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita tidak
akan terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan distribusi
pendapatan. Perubahan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang negatif
terhadap kemiskinan. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa peningkatan
pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh Indonesia
hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Sementara itu, sebagian besar
penduduk yang saat ini hidup dalam kemiskinan tidak menikmati pencapaian
tersebut. Dengan kata lain, meskipun ekonomi tumbuh dengan baik, tetapi mereka
tetap berada dalam kemiskinan. Peningkatan kontra prestasi (gaji, honor, upah,
dan bentuk lain) yang selama ini terjadi di Indonesia hanya dinikmati oleh
sebagian orang. Peningkatan kontra prestasi tersebut tidak sampai menyentuh
kelompok yang berada pada garis kemiskinan.
(c). Rasio
Ketergantungan Penduduk
Faktor
penyebab munculnya rasio ketergantungan adalah adanya tingkat kelahiran
(fertilitas) yang tinggi. World Bank (1978) menyatakan bahwa penyebab
kemiskinan adalah adanya ledakan penduduk (population Growth) yang tidak
terkendali karna hal itu akan menyebabkan rasio ketergantungan (dependency
ratio) yang tinggi. Sementara itu, Malthus (1798) dalam Todaro (2000:268)
menyatakan bahwa ledakan penduduk akan menimbulkan pola hidup yang serba
pas-pasan (subsisten). Sedangkan pemikiran neo-Malthus menyatakan bahwa
bangsa-bangsa yang miskin tidak akan pernah berhasil mencapai taraf hidup yang
lebih tinggi dari tingkat subsisten, kecuali bangsa itu mengadakan pemeriksaan
preventif (preventif checks) terhadap pertumbuhan populasinya, atau dengan
menerapkan pengendalian kelahiran. Nilai rata-rata Total Vertility Rate (TVR)
Indonesia pada tahun 2010 adalah 2,5. Artinya, setiap keluarga memiliki tiga
orang anak sehingga dalam satu keluarga akan terdiri dari lima jiwa. Semakin
besar jumlah anak, semakin besar jumlah tanggungan yang harus ditanggung oleh
kepala keluarga. Selanjutnya, semakin besar jumlah penduduk yang berusia tidak
produktif semakin besar tanggungan yang harus ditanggung oleh penduduk usia
produktif.
(d) Pertumbuhan Ekonomi
(GRW)
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi yang selama ini dicapai oleh Indonesia ternyata tidak mampu
mengurangi faktor penyebab kemiskinan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi tersebut
hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang di Indonesia. Hal itu akan
menimbulkan kemiskinan struktural dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya
bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang kaya, sementara sebagian besar
masyarakat tetap miskin. Keadaan ini sesuai dengan teori "trade-off
between growth and equity" yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi akan menimbulkan ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian
pendapatan, atau semakin tidak merata, dan sebaliknya upaya pemerataan dapat
terwujud dalam pertumbuhan yang rendah (Todaro, 2000:206).
(e) Persentase Tenaga
Kerja Di Sektor Pertanian (TKP)
Penelitian
Ritonga (2006) juga menyatakan bahwa penduduk miskin di Indonesia umumnya bekerja
di sektor pertanian dan mempunyai tingkat pendidikan SD ke bawah. Karena itu,
program pengentasan kemiskinan di sektor pertanian perlu diprioritaskan.
Pembangunan sektor pertanian melalui revitalisasi pertanian, perikanan, dan
kehutanan, serta pembangunan masyarakat pedesaan perlu menjadi pijakan demi
membawa masyarakat Indonesia keluar dari permasalahan kemiskinan.
(f) Persentase Tenaga
Kerja Di Sektor Industri (TKI)
Peran
penting sektor industri dalam mengurangi faktor penyebab kemiskinan salah
satunya ditunjukkan oleh hasil penelitian Skoufias (2000), yang menyatakan
bahwa konsumsi tenaga kerja di sektor industri lebih besar dari konsumsi tenaga
kerja sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan pekerja usaha
kecil yang bekerja di sektor industri non pertanian lebih besar daripada
penghasilan tenaga kerja usaha kecil yang bekerja di sektor industri yang
bergerak di sektor pertanian.
Sharp
(1996:173-191) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi
ekonomi. Pertama, secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan
pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang
timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan
kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber
daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya
rendah, yang pada gilirannya upah menjadi rendah. Rendahnya kualitas sumber
daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung,
adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat
perbedaan akses ke modal.
Ketiga,
penyebab kemiskinan ini pada dasarnya bermuara pada teori lingkaran kemiskinan
(vicious circle of poverty) yang dikemukakan oleh Nurkse pada tahun 1953, bahwa
"a poor country is poor because it is poor" (negara miskin itu miskin
karena memang miskin). Skema lingkaran kemiskinan ini dapat digambarkan pada Gambar
1.
|
|||||||||||||
|
|||||||||||||
|
|
||||||||||||
|
|
||||||||||||
Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan
empat madzhab :
(a) Individual
Explanation. Diakibatkan oleh karakteristik orang miskin itu sendiri : malas,
pilihan yang salah, gagal dalam bekerja, cacat bawaan, belum siap memiliki
anak, dan sebagainya.
(b) Familial
Explanation. akibat faktor keturunan, dimana antargenerasi terjadi ketidak
beruntungan yang berulang, terutama akibat pendidikan.
(c) Subcultural
Explanation. akibat karakteristik perilaku suatu lingkungan yang berakibat pada
moral masyarakat.
(d) Structural
Explanation. menganggap kemiskinan sebagai produk dari masyarakat yang
menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan status atau hak.
Faktor penyebab
kemiskinan menurut Bank Dunia sebagai berikut :
(a) Terbatasnya
ketersediaan bahan kebutuhan dasar dan prasarana.
(b) Kebijakan
pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
(c) Adanya perbedaan
kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung.
(d) Adanya perbedaan
sumber daya manusia dan perbedaan di antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional
versus ekonomi modern).
(e) Rendahnya produktivitas
dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat.
(f) Budaya hidup yang
dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan
lingkungannya.
(g) Tidak adanya tata
kelola yang bersih dan baik (good governance).
(h) Pengelolaan sumber
daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Jika
dikaitkan dengan ketimpangan yang terjadi di Indonesia, maka berdasarkan uraian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor dominan yang dapat menyebabkan
ketimpangan ekonomi pada dasarnya terbagi ke dalam 2 golongan besar : Anugerah
awal (initial endowment) di antara para pelaku ekonomi dan dampak negatif dari
pembangunan yang berorientasi pada strategi pertumbuhan.
3.
Indikator
dan Ukuran Ketimpangan serta Kemiskinan
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori, yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh
waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah
persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan
tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Terdapat
beberapa indikator dan ukuran untuk melihat potret perekonomian Indonesia yang
ditinjau berdasarkan tingkat ketimpangan dan kemiskinan yang ada di Indonesia.
Berikut ini adalah indikator dan ukuran ketimpangan serta kemiskinan :
(a)
Indikator dan Ukuran Absolut
Bank
Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah
US$1/hari dan kemiskinan menengah dengan pendapatan di bawah US$2/hari.
Berdasarkan batasan ini diperkirakan pada tahun 2011 sebanyak 1,1 miliar orang
di dunia mengkonsumsi kurang dari US$1/hari dan 2,7 miliar orang di dunia
mengkonsumsi kurang dari US$2/hari.[1]
Indikator
kemiskinan yang lain dikemukakan oleh Bappenas (2004) dalam Sahdan (2005)
berupa :
1.
Kurangnya pangan, sandang, dan perumahan yang tidak layak;
2.
Terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif;
3.
Kurangnya kemampuan membaca dan menulis;
4.
Kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup;
5.
Kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi;
6.
Ketidakberdayaan atau daya tawar yang rendah;
7.
Akses ke ilmu pengetahuan yang terbatas.
(b)
Indikator dan Ukuran Relatif
Kemiskinan
relatif merupakan kondisi masyarakat karena kebijakan pembangunan yang belum
mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan
untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kemiskinan struktural dan kultural
merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur dan faktor-faktor
adat budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang (Sudantoko,
2009:43-46).
Konsep
Koefisien Gini
Koefisien
Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi. Ukuran Ini pertama kali dikembangkan
oleh ahli statistik dan ahli sosiologi Italia bernama Corrado Gini dan
dipublikasikan pada tahun 1912 dalam makalahnya yang berjudul "variability
and mutability" (dalam bahasa Italia: variabilita e mutabilita).
Koefisien
gini dinyatakan dalam bentuk rasio yang nilainya antara 0 dan 1, nilai 0
menunjukkan pemerataan yang sempurna di mana semua nilai adalah sama, sedangkan
nilai 1 menunjukkan ketimpangan yang paling tinggi yaitu satu orang menguasai
semuanya dan yang lainnya nihil. Menurut definisinya, koefisien gini adalah
perbandingan luas daerah antara Kurva Lorenz dan garis lurus 45° terhadap luas
daerah dibawah garis lurus 45 derajat tersebut.
Indeks
atau rasio gini merupakan koefisien yang berkisar antara 0 hingga 1, yang
menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional,
semakin kecil koefisiennya semakin merata, dan semakin besar angka koefisiennya
atau mendekati angka 1 maka semakin besar ketimpangan. Angka rasio gini dapat
ditaksir langsung secara visual melalui Kurva Lorenz, yaitu perbandingan antara
luas area yang terletak di antara Kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area
segitiga OBC. Semakin melengkung maka semakin meluas area yang dibagi sehingga
semakin besar nilai dan semakin besar pula ketimpangannya. Rasio gini dapat
dihitung secara matematik dengan rumus 1.1 :
Rumus
1.1
0
< G < 1
Keterangan
:
G
= rasio gini
fi = proprosi jumlah rumah tangga dalam
kelas-i
Xi +
1 = proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i
Yi +
1 = proporsi jumlah pendapatan rumah tangga dalam kelas-i
Tingkat
pemerataan pendapatan akan terjadi jika semua orang mendapatkan distribusi
pendapatan yang sama rata atau, dengan kata lain, rasio gininya adalah sama
dengan nol (Gini Ratio = 0). Jadi, rasio Gini adalah rasio tentang distribusi
pendapatan dengan angka kisaran 0 sampai dengan 1. Jika G mendekati 0, berarti
distribusi pendapatan yang diterima hampir sama dengan banyaknya penduduk.
Berikut adalah arti nilai dari besaran rasio gini :
G
< 0,3 artinya ketimpangan rendah
0,3
≤ G ≤ 0,5 artinya ketimpangan sedang
G
> 0,5 artinya ketimpangan tinggi
GK
(Garis Kemiskinan)
Garis kemiskinan (GK) adalah persentase penduduk
miskin yang berada dibawah garis kemiskinan, yang secara sederhana mengukur
proporsi penduduk yang dikategorikan miskin. Untuk mengukur kemiskinan, BPS
menggunakan konsep Kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS, tetapi juga oleh negara-negara lain
seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone dan
Gambia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari
sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan yang diukur
dari sisi pengeluaran yang dikonseptualisasikan dengan garis kemiskinan (GK).
GK merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilo kalori
per kapita per hari, dan kebutuhan pokok non makanan. GK yang digunakan oleh
BPS terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan garis
kemiskinan non makanan (GKNM), sehingga GK merupakan penjumlahan dari GKM dan
GKNM.
Distribusi Pendapatan
Disparitas (ketimpangan) distribusi
pendapatan atau kesenjangan, dan tingkat kemiskinan merupakan masalah besar
yang dihadapi negara berkembang termasuk Indonesia. Distribusi pendapatan
mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara
dikalangan penduduknya. Tidak meratanya distribusi pendapatan akan memicu
ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Masalah
kesenjangan tidak hanya dialami oleh negara berkembang tetapi juga oleh negara
maju. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat
kesenjangan dan Angka kemiskinan yang terjadi, serta kesulitan mengatasinya
yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin
besar angka kemiskinan, semakin tinggi tingkat kesulitan mengatasinya. Negara
maju mengalami tingkat kesenjangan pendapatan yang relatif lebih kecil
dibandingkan negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu
sulit karena GNP dan GDP negara maju relatif tinggi.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan
kepemilikan sumber daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal
(capital stock). Kelompok masyarakat yang memiliki faktor produksi yang lebih
banyak juga akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak. Menurut pandangan Neoklasik,
perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui proses penyesuaian otomatis, yaitu
“penetapan” hasil pembangunan ke bawah (Trickle Down) dan kemudian menyebarnya
sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses terotomatisasi tersebut
belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang timpang, maka dapat
dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan
akan mengurangi pendapatan penduduk berpenghasilan tinggi, begitu juga sebaliknya
subsidi akan membantu penduduk berpenghasilan rendah asalkan tidak salah
sasaran dalam pengalokasiannya. Pajak yang telah dipungut dengan menggunakan
sistem tarif progresif (semakin tinggi pendapatan semakin besar persentase
tarifnya) oleh pemerintah akan digunakan untuk membiayai roda pemerintahan
subsidi dan proyek pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi
pendapatan yang akan mengurangi ketimpangan.
4.
Potret
Kemiskinan Indonesia pada Tahun 1998-2014
Untuk melihat potret kemiskinan di Indonesia pada
tahun 1998 sampai 2014 digunakan indikator rasio Gini, distribusi pendapatan,
dan garis kemiskinan, antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan.
Potret Rasio Gini
Indonesia Pasca reformasi
Cara pengukuran kemiskinan mempunyai standar yang
berbeda-beda, salah satunya perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi
pendapatan. kemiskinan jenis ini dikatakan relatif karena berkaitan dengan
distribusi pendapatan antar lapisan sosial. Ketimpangan distribusi pendapatan
dapat diketahui dari indeks atau rasio gini. Berikut adalah Tabel data rasio
gini di Indonesia.
Tabel
1.1
Tahun
|
Rasio Gini (Y)
|
1998
|
0,32
|
1999
|
0,31
|
2000
|
0,29
|
2001
|
0,23
|
2002
|
0,33
|
2003
|
0,33
|
2004
|
0,32
|
2005
|
0,36
|
2006
|
0,35
|
2007
|
0,36
|
2008
|
0,35
|
2009
|
0,37
|
2010
|
0,38
|
2011
|
0,41
|
2012
|
0,41
|
2013
|
0,41
|
2014
|
0,43
|
Rata-rata
|
0,36
|
Untuk membahas secara lebih jelas
mengenai fluktuatif perkembangan rasio gini dapat digambarkan melalui gambar
grafik 1.2
Gambar grafik 1.2 menunjukkan bahwa rasio gini di
Indonesia pada periode 1998 sampai 2014 rata-rata 0,36. Ini berarti bahwa
ketimpangan yang terjadi di Indonesia termasuk kriteria sedang karena angka
koefisien gini berada di antara 0,35 dan 0,50. Kesenjangan terbesar terjadi
pada tahun 2014 karena pada tahun tersebut pertumbuhan ekonomi tidak
berkualitas, sehingga laju pendapatan orang miskin tidak bisa mengejar kecepatan
tumbuhnya harta orang kaya. Di samping itu, besarnya rasio gini tersebut juga
disebabkan oleh melambungnya harga komoditas, dimana hal ini terlihat dari data
40 orang terkaya di Indonesia pada tahun ini berasal dari bisnis berbasis
komoditas.
Gambar grafik 1.1
Potret
Distribusi Pendapatan Indonesia Pasca Reformasi
Potret kemiskinan di Indonesia pada
tahun 1958 sampai 2014 berdasarkan distribusi pendapatan dapat dilihat di
gambar 1.2 berikut ini :
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa krisis
ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 tidak begitu mempengaruhi
distribusi pendapatan. Namun, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada
tahun 2006 diindikasikan sebagai salah satu penyebab porsi pendapatan kelompok
40% penduduk terendah menurun menjadi 21,4%. Penurunan ini terus terjadi hingga
tahun 2014, yaitu menjadi 17,1%. Walaupun terjadi penurunan dari beberapa tahun
sebelumnya, distribusi pendapatan pada tahun 2014 masih dikategorikan ke dalam
tingkat ketidakmerataan "rendah" (low inequality). Jika di bandingkan
antara daerah perkotaan dan pedesaan, terlihat bahwa pada tahun 2014
ketimpangan distribusi pendapatan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan
ketimpangan yang terjadi di daerah pedesaan.
Potret garis kemiskinan
Indinesia pasca reformasi
Berdasarkan metode garis
kemiskinan (GK), persentase penduduk miskin di Indonesia periode 1998-2014
rata-rata tumbuh sebesar 3,18%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik
11.22, 11.3, 11.4, dan 11.5.
Tabel 11.3 Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin pada tahun 1998-2014
Tahun
|
Jumlah penduduk miskin (juta)
|
Persentase penduduk miskin
|
||||
Perkotaan
|
Pedesaan
|
Perkotaan dan pedesaan
|
Perkotaan
|
Pedesaan
|
Perkotaan dan Pedesaan
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
1998
|
17,6
|
31,9
|
49,5
|
21,92
|
25,72
|
24,2
|
1999
|
15,64
|
32,33
|
47,97
|
19,41
|
26,03
|
23,43
|
2000
|
12,31
|
26,43
|
38,74
|
14,6
|
22,38
|
19,14
|
2001
|
8,6
|
29,27
|
37,87
|
9,79
|
22,84
|
18,41
|
2002
|
13,32
|
25,08
|
38,39
|
14,46
|
21,1
|
18,2
|
2003
|
12,26
|
25,08
|
37,34
|
13,57
|
20,23
|
17,42
|
2004
|
11,37
|
2,78
|
36,15
|
12,13
|
20,11
|
16,66
|
2005
|
12,4
|
22,7
|
35,1
|
11,68
|
19,98
|
15,97
|
2006
|
14,49
|
24,81
|
39,3
|
13,47
|
21,81
|
17,75
|
2007
|
13,56
|
23,61
|
37,17
|
12,52
|
20,37
|
16,58
|
2008
|
12,77
|
22,19
|
34,96
|
11,65
|
18,93
|
15,42
|
2009
|
11,91
|
20,62
|
32,53
|
10,72
|
17,35
|
14,15
|
2010
|
11,1
|
19,93
|
31,02
|
9,87
|
16,56
|
13,33
|
2011
|
11,08
|
19,04
|
30,12
|
9,23
|
15,72
|
12,49
|
2012
|
10,71
|
18,54
|
29,25
|
8,79
|
15,1
|
19,96
|
2013
|
10,39
|
17,78
|
28,17
|
8,42
|
14,28
|
11,36
|
2014
|
10,51
|
17,77
|
2,28
|
8,34
|
14,17
|
11,25
|
Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan persentase penduduk
miskin diperkotaan, pedesaan, dan secara keseluruhan di Indonesia pada tahun
1998-2014:
Grafik
11.2 Persentase penduduk miskin di Indonesia
tahun 1998-2014 ( persen)
Grafik
11.3 Persentase kemiskinan perkotaan dan
pedesaan periode 1998-2014
Grafik
11.4 Persentase kemiskinan pedesaan periode
1998-2014
Grafik
11.5 Garis kemiskinan
Garis
kemiskinan naik sebesar 5,72% selama maret 2009 hingga maret 2010. Aambang
batas kemiskinan yang semula berada diangka Rp. 200.262 per kapita perbulan
naik ke angka Rp. 211.726 per kapita per bulan. Sumbangan terbesar berasal dari
beras, biaya perumahan, dan rokok kretek. Dalam keterangan pers di kantornya,
kamis (1/7/2010), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan
bahwa ketiganya merupakan kebutuhan yang tampak terus diupayakan oleh
masyarakat miskin untuk dipenuhi. “ini dilematis ya, penerimaan negara juga
berasal dari cukai dan lapangan kerja industri rokok tetapi buat orang miskin,
ini rugi”, ungkapnya. Data BPS menujukkan rokok kretek masuk dalam kategori
komoditi makanan yang memberi sumbangan besar pada garis kemiskinan sebagai
ambang batas menentukan miskin atau tidaknya seseorang. Kontribusinya mencapai
7,93% diperkotaan dan 5,9% di pedesaan. Kontribusi beras ditempat pertama
sebesar 25,2%. Artinya orang miskin akan lebih mengutamakan makan ketimbang hal
lainnya. Sementara itu, kontribusi komoditi bukan makanan juga tidak kalah
besarnya. Biaya perumahan memberikan kontribusi terbesar untuk garis
kemiskinan, yaitu 8,43% di perkotaan dan 6,11% di pedesaan. Besaran
kontribusinya diikuti oleh biaya listrik sebesar 3,3% di perkotaan dan 1,87% di
pedesaan.
Analisis
Growth and Share Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia periode 1998-2014
Berdasarkan analisis growth and share, potret
kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia pada tahun 1998-2014 dapat dilihat pada
tabel 11.4, 11.5, dan 11.6 berikut ini:
Tabel
11.4 Perhitungan growth and share untuk kemiskinan diIndonesia secara keseluruhan
secara periode 1998-2014
Tahun
|
Jumlah
Penduduk Miskin
|
Tingkat
Pertumbuhan Penduduk Miskin (Growth)
|
Kontribusi
Penduduk Miskin (share)
|
Kuadran
|
1998
|
49,5
|
-
|
8,10
|
I
|
1999
|
47,97
|
-3,09
|
7,85
|
I
|
2000
|
38,7
|
-19,32
|
6,34
|
II
|
2001
|
37,9
|
-2,07
|
6,21
|
I
|
2002
|
38,4
|
1.32
|
6,29
|
I
|
2003
|
37,3
|
-2,86
|
6,11
|
I
|
2004
|
36,1
|
-3,22
|
5,91
|
IV
|
2005
|
35,1
|
-2,77
|
5,75
|
IV
|
2006
|
39,3
|
11,97
|
6,43
|
I
|
2007
|
37,17
|
-5,42
|
6,09
|
II
|
2008
|
34,96
|
-5,95
|
5,72
|
II
|
2009
|
32,53
|
-6,95
|
5,33
|
III
|
2010
|
31,02
|
-4,64
|
5,08
|
III
|
2011
|
29,89
|
-3,64
|
4,89
|
III
|
2012
|
29,13
|
-2,54
|
4,77
|
IV
|
2013
|
28,06
|
-3,67
|
4,59
|
III
|
2014
|
27,73
|
-1,18
|
4,54
|
|
Total
|
610,8
|
-54
|
100
|
|
Rata-rata
|
35,93
|
-3,18
|
5,88
|
TABEL
11.5 Perhitungan Growth and Share untuk kemiskinan di Indonesia daerah perkotaan paa
periode 1998-2014
Tahun
|
Jumalah
Penduduk Miskin
|
Tingkat
Pertumbuhan Penduduk Miskin (Growth)
|
Kontribusi
Penduduk Miskin (Share)
|
Kuadran
|
1998
|
17,60
|
-
|
8,15
|
I
|
1999
|
15,64
|
-11,14
|
7,24
|
II
|
2000
|
12,31
|
-21,29
|
5,70
|
II
|
2001
|
8,60
|
-30,14
|
3,98
|
III
|
2002
|
13,32
|
54,88
|
6,17
|
I
|
2003
|
12,26
|
-7,96
|
5,68
|
II
|
2004
|
11,37
|
-7,26
|
5,27
|
III
|
2005
|
12,40
|
9,06
|
5,74
|
I
|
2006
|
14,49
|
16,85
|
6,71
|
I
|
2007
|
13,56
|
-6,42
|
6,28
|
II
|
2008
|
12,77
|
-5,83
|
5,91
|
II
|
2009
|
11,91
|
-6,73
|
5,52
|
III
|
2010
|
11,10
|
-6,80
|
5,14
|
III
|
2011
|
11,04
|
-0,54
|
5,11
|
IV
|
2012
|
10,51
|
-4,80
|
4,87
|
IV
|
2013
|
10,63
|
1,14
|
4,92
|
IV
|
2014
|
16,36
|
53,90
|
7,58
|
I
|
Total
|
210,87
|
26,92
|
100,00
|
|
Rata-rata
|
12,70
|
1,58
|
6,25
|
Tabel 11.6 Perhitungan
Growth and Share untik kemiskinan di
Indonesia daerah pedesaan pada periode 1998-2014
Tahun
|
Jumlah
Penduduk Miskin
|
Tingkat
Pertumbuhan Penduduk Miskin (Growth)
|
Kontribusi
Penduduk Miskin (Share)
|
Kuadran
|
1998
|
31,90
|
-
|
7,95
|
I
|
1999
|
32,33
|
1,35
|
8,06
|
II
|
2000
|
26,43
|
-18,25
|
6,59
|
II
|
2001
|
29,27
|
10,75
|
7,30
|
III
|
2002
|
25,08
|
-14,31
|
6,25
|
I
|
2003
|
25,08
|
0,00
|
6,25
|
II
|
2004
|
24,78
|
-1,20
|
6,18
|
III
|
2005
|
22,70
|
-8,39
|
5,66
|
I
|
2006
|
24,81
|
9,30
|
6,18
|
I
|
2007
|
23,61
|
-4,84
|
5,87
|
II
|
2008
|
22,19
|
-6,01
|
5,53
|
II
|
2009
|
20,62
|
-7,08
|
5,14
|
III
|
2010
|
19,93
|
-3,35
|
4,97
|
III
|
2011
|
18,97
|
-4,82
|
4,73
|
IV
|
2012
|
18,09
|
-4,64
|
4,51
|
IV
|
2013
|
17,92
|
-0,94
|
4,47
|
IV
|
2014
|
17,37
|
-3,07
|
4,33
|
III
|
Total
|
401,08
|
-55,5
|
100,00
|
|
Rata-rata
|
23,59
|
-3,26
|
6,25
|
Berdasarkan gambar 11.4, tampak bahwa kondisi
penduduk miskin di Indonesia yang terendah growth
dan share-nya terjadi pada tahun
2013 yang berada di kuadran III sebesar 28,06 juta, yaitu mengalami penurunan
dari tahun 2012 sebesar 29,13 juta. Ini berarti kondidi kemiskinan di Indonesia
pada tahun 2013 berada pada kondisi baik, dengan tingkat pertumbuhan penduduk
miskin -3,67%. Hal ini didukung oleh fakta angka buta huruf mengalami penurunan
dari 7,03 juta menjadi 6,08 juta. Tingkat partisipasi kemiskinan pada tahun
2013 mengalami penurunan akibat menurunnya angka buta huruf dan meningkatnya
upah. Angka indeks pembangunan manusia naik dari 73,29 menjadi 73,81. Sementara
itu, kondisi penduduk miskin di Indonesia yang tertinggi growth dan share-nya
terjadi pada tahun 2006 yang berda di kuadran IV, yang berarti jumlah penduduk
miskin di Indonesia berada pada kondisi buruk yaitu sebesar 39,3 juta, suatu
peningkatan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis. Pada tahun itu angka
kemiskinan justru meningkat dari 31,1 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 39,3 juta jiwa pada tahun 2006. Demikian pula, inflasi mengalami kenaikan
tajam sebesar 17,75% pada tahun 2006. Di sisi industri, kenaikan harga BBM
untuk kedua kalinya pada tahun 2005 telah mendorong percepatan
deindustrialisasi. Jika pada tahun 2004 sektor manufaktur masih tumbuh 7,2%,
maka pada tahun 2007 hanya tumbuh sebasar 5,1%. Hal ini terjadi karena industri
di tekan dari 2 sisi, yakni peningkatan biaya produksi dan merosotnya
permintaan akibat menurunnya daya beli masyarakat. penambahan jumlah
pengangguran dari 9,9% pada tahun 2004 menjadi 10,3% pada tahun 2005 dan 10,4%
pada tahun 2006 pun akhirnya tidak terelakkan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada
tahun 1999,200,2002,2003,2004, dan 2007 berda di kuadran I, yang berarti jumlah
penduduk miskin di Indonesia berada pada kondisi buruk karena meroketnya
harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makanan. Jumlah penduduk miskin
di indonesia pada tahu 2001, 2006, dan 2009 berada di kuadran II, yang berarti
jumlah penduduk miskin pada kuadran tersebut kurang baik tetapi kondisi ini
tidak terlalu buruk. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010,
2011,2012, dan 2014 berada pada kuadran III, yang berarti dapat dikatakan
berada pada kondisi baik. Sementara jumlah penduduk miskin pada tahun
2005,2006, dan 2013 berada di kuadran IV.
Pada tahun 2001, kondisi kemiskinan di
perkotaan berda pada posisi sangat baik, yaitu terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin dikota jika dilihat dari jumlah masyarakat miskin pada tahun
2000 yang mencapai 12,30 juta dan penurunan pada tahun 2001 menjadi 8,60 juta.
Hal ini disebabkanoleh tersalurnya pinjaman dana kredit kepada masyarakat, yang
bertujuan meningkatkan produktifitas demi mengurangi jumlah kemiskinan di
Indonesia. Akan tetapi, jumlah penduduk miskin di pedesaan justru meningkat,
yaitu mencapai angka 29,30 juta. Kurangnya pemerataan lapangan pekerjaan telah
membuat banyak penduduk desa yang mengadu nasib kekota sehingga angka
kemiskinan desa menurun pada tahun 2002, sementara angka kemiskinan dikota jadi
meningkat lagi menjadi 13,30 juta. Walaupun demikian, kondisi ini tidak
dianggap parah karena masih dilakukan perbaikan atau pemulihan diberbagai
sektor yang menunjang penurunan jumlah penduduk miskin pasca krisis.
Berdasarkan data bank dunia jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada tahun 2002 bukanlah 10% sampai 20%, tetapi telah
mencapai 60% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 215 juta. Hal ini
diakibatkan oleh ketidakmampuan mengakses sumber-sumber permodalan, dan
infrastruktur yang juga belum mendukung untuk dimanfaatkan masyarakat demi
memperbaki kehidupannya. Selain itu, juga karena SDA,SDM, sistem, dan tidak
terlepas dari sosok pemimpinnya. Kemiskinan memang harus diakui terus menjadi
masalah fenomenal sepanjang sejrah Indonesia sebagai negara, bahkan hampir
seluruh energi dihabiskan hanya untuk mengurus persoalan kemiskinan. Pertanyaannya
sekrang ini adalah: Mengapa masalah kemiskinan seakan tidak pernah habis,
sehingga di negara ini rasanya tidak ada persoalan yang lebih besar selain
persoalan kemiskinan? Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa
mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya
tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses pelayanan publik,
kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan
terhadap keluarga, menguatnya arus perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan
memperbaiki kehidupan, dan lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat
memenuhi kebutuhan pangan, sandang, serta papan secara terbatas. Kemiskinan
menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apasaja demi keselamatan hidup;
kemiskinan menyebabkan banyak orang melakukan perilaku menyimpang, diman harga
diri diperjualbelikan hanya untuk mendapatkan makan. Si miskin rela memberikan
tenaga untuk mengahasilkan keuntungan bagi mereka yang memiliki uang yan
memegang kendali atas sektor perekonomian lokal serta menerima upah yang tidak
sepadan dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Para buruh bekerja sepanjang
hari, tetapi hanya menerima upah yang sangat sedikit. Lebih parah lagi,
kemiskinan telah membuat masyarakat kita
terjebak dalam budaya malas, budaya mengemis, dan menggantungkan harapan pada
budi baik pemerintah melalui pemberian
bantuan. Kemiskinan juga dapat meningkatkan angka kriminalitas. Mengapa penulis
mengatakan bahwa kemiskinan dapat meningkatkan angka kriminalitas? Jawabannya adalah karena mereka (si miskin)
akan rela melakukan apa saja untuk mempertahankan hidupnya, baik itu mencuri,
membunuh, mencopet, bahkan jika ada hal yang lebih keji dari itu ia akan tega
dan berani melakukannya demi hidupnya. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus
kita salahkan. Kemiskinan seakan menjadi fenomena atau persoalan yang tidak ada
habis-habisnya. Pemerintah terkesan tidak serius dalam menangani persoalan
kemiskinan, pemerintah seakan membiarkan mereka mengemis dan mencuri ketimbang
memikirkan cara untuk menanggulangi tingkat kemiskinan dan membebaskan negara
dari para pengemis jalanan karena kemiskinan.
Perkembangan tingkat kemiskianan pada periode
maret 2009-maret 2010. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada maret 2010
sebanyak 31,02 juta orang atau 13,33%. Jika dibandingkan dengan penduduk miskin
pada maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta orang atau 14,15%, ternyata jumlah
penduduk miskin berkurang 1,51 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin di daerah
perkotaan turun lebih besar ketimbang daerah pedesaan . Selama periode maret
2009-maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang,
sementara di darah pedesaan berkurang 0,69 juta orang (tabek 2). Persentase
penduduk miskin antara daerah perkotaan dan pedesaan tidak banyak berubah dari
maret 2009 hingga maret 2010. Pada maret 2009, sebagian besar atau 63,38%
penduduk miskin berada didaerah pedesaan, sementara pada maret 2010 sebesar
64,23%. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode maret
2009-maret 2010 nampak berkaitan dengan faktor-faktor berikut:
a)
Selama periode maret
2009-maret 2010 inflasi umum relatif rendah, yaitu sebesar 3,43%. Menurut
kelompok pengeluaran, kenaikan harga selama periode tersebut terjadi pada
kelompok bahan makanan sebesar 4,11%; kelompok makanan jadi, minuman, roko dan
tembakau sebesar 8,04%;kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga sebasar
3,85%;kelompok kesehatan sebesar 3,18%;kelompok sandang sebesar 0,78%;kelompok
perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakarsebesar 2,08%; serta kelompok
transportasi dan kominikasi srta jasa keuangan sebesar 1,38%.
b)
Rata-rata upah harian
bruh tani dan buruh banguanan masing-masing naik sebesar 3,27% dan 3,86% selama
periode maret 2009 – maret 2010.
c)
Produksi pada tahun
2010 (hasil angka ramalan /ARAM II) mecapai 65,15 juta ton GKG, naik sekitar
1,17% dari produksi pada tahun 2009 sebesar 64,40 juta ton GKG.
d)
Sebagian besar penduduk
miskin (64,64% pada tahun 2009) bekerja disektor Pertanian. NTP (Nilai Tukar
Petani) naik 2,45% dari 97,78 pada maret 2009 menjadi 1010,20 pada maret 2010.
e)
Perekonomian Indonesia
Triwulan I 2010 tumbuh sebesar 5,7% terhadap Triwulan I 2009, sedangkan
pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 3,9% pada periode yang
sama.
Tabel 11.7
Perhitungan tren data kemiskinan di Indonesia tahun 1998-2014
Tahun
|
X
|
N
|
Y
|
X2
|
YX
|
1998
|
-14
|
1
|
49,50
|
196
|
-693
|
1999
|
-12
|
2
|
47,97
|
144
|
-575,64
|
2000
|
-10
|
3
|
38,70
|
100
|
-387
|
2001
|
-8
|
4
|
37,90
|
64
|
-303,2
|
2002
|
-6
|
5
|
38,40
|
36
|
-230,4
|
2003
|
-4
|
6
|
37,30
|
16
|
-149,2
|
2004
|
-2
|
7
|
36,10
|
4
|
-72,2
|
2005
|
-1
|
8
|
35,10
|
1
|
-35,1
|
2006
|
0
|
9
|
39,30
|
0
|
0
|
2007
|
1
|
10
|
37,17
|
1
|
37,17
|
2008
|
2
|
11
|
34,96
|
4
|
69,92
|
2009
|
4
|
12
|
32,53
|
16
|
130,12
|
2010
|
6
|
13
|
31,02
|
36
|
186,12
|
2011
|
8
|
14
|
29,89
|
64
|
239,12
|
2012
|
10
|
15
|
29,13
|
100
|
291,3
|
2013
|
12
|
16
|
28,06
|
144
|
336,72
|
2014
|
14
|
17
|
27,73
|
196
|
388,22
|
Total
|
610,8
|
1.122
|
-767,05
|
ɑ=
= = 35,93
b = = = -0,68
Jadi, dari analisis tren diperoleh
persamaan Y = 35,93- 0,68X
Untuk memprediksi jumlah penduduk
miskin di Indonesia pada tahun 2045, maka:
Y = 35,93 – 0,68X
Y= 35,93 – 0,68(79)
Y= 36,45 – 54,01
Y = -17,56
Dari
hasil analisis perhitungan tren kemiskinan di peroleh bahwa prediksi mengenai
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2045 adalah sebanyak -17,56 juta
jiwa[2].
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kemiskinan merupakan
keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun
sulitnya akses ke pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah
global, di mana sebagian orang memahami istilah ini secara subjektif dan
komparatif, sementara yang lain melihatnya dari segi moral dan evaluatif, serta
sebagian lainnya memahami dari sudut pandang ilmiah yang telah mapan.
Berikut adalah
faktor-faktor penentu ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia :
(a). Tingkat Pendidikan
yang Ditamatkan Penduduk (EDU)
(b). Pendapatan Per
Kapita Penduduk (PC)
(c). High income
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori, yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh
waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah
persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan
tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Untuk melihat potret kemiskinan di Indonesia pada
tahun 1998 sampai 2014 digunakan indikator rasio Gini, distribusi pendapatan,
dan garis kemiskinan, antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.